• Black
  • perak
  • Green
  • Blue
  • merah
  • Orange
  • Violet
  • Golden
  • Nombre de visites :
  • 77
  • 8/7/2017
  • Date :

Kenabian Pamungkas dan Syariat Islam

Pertanyaan mendasar yang juga dapat dilontarkan berkenaan dengan masalah ini adalah, mengapa kenabian dan syariat berakhir dengan agama Islam? Dengan kata lain, apa filsafat dan rahasia dari khâtamiyyah?

kenabian pamungkas dan syariat islam

Filsafat dan rahasia khâtamiyyah berada pada kesempurnaan agama dan syariat Islam; yakni syariat Islam merupakan puncak dari suatu rentetan syariat yang turun dari sisi Tuhan. Secara teoritis, sistem syariat Ilahi akan mencapai suatu titik akhir dimana paling sempurnanya ushul, parameter, dan prinsip wahyu untuk memberi hidayah kepada manusia telah tersusun dan tertetapkan. Dan perkara ini adalah mungkin (possible) serta tidak diragukan perealisasiannya berada dalam cakupan ilmu dan kudrat Ilahi. Di samping itu, dalil-dalil khatamiyyah juga menguatkan atas asumsi dan teori ini. Oleh karena itu, sebagai natijahnya filsafat dan rahasia khatamiyyah adalah kesempurnaan syariat. (Baca Juga: Menapaki Jalan Spiritual: Syariat, Tharikat, dan Hakikat)

 

Sebelumnya kami telah jelaskan makna dari khâtamiyyah baik secara semantik maupun secara istilah. Di samping itu kami juga telah paparkan beberapa pertanyaan dan isykal mendasar terhadap konsep dan teori ini beserta jawabannya. Sekarang beberapa pembahasan urgen lainnya di seputar tema khatâmiyyah kenabian dan syariat Islam ini akan coba kami paparkan sebagai kelanjutan dari  tulisan sebelumnya. 

 

Hikmah Khatamiyyah

Pertanyaan mendasar yang juga dapat dilontarkan berkenaan dengan masalah ini adalah, mengapa kenabian dan syariat berakhir dengan agama Islam? Dengan kata lain, apa filsafat dan rahasia dari khâtamiyyah?

 

Filsafat dan rahasia khâtamiyyah berada pada kesempurnaan agama dan syariat Islam; yakni syariat Islam merupakan puncak dari suatu rentetan syariat yang turun dari sisi Tuhan. Secara teoritis, sistem syariat Ilahi akan mencapai suatu titik akhir dimana paling sempurnanya ushul, parameter, dan prinsip wahyu untuk memberi hidayah kepada manusia telah tersusun dan tertetapkan. Dan perkara ini adalah mungkin (possible) serta tidak diragukan perealisasiannya berada dalam cakupan ilmu dan kudrat Ilahi. Di samping itu, dalil-dalil khatamiyyah juga menguatkan atas asumsi dan teori ini. Oleh karena itu, sebagai natijahnya filsafat dan rahasia khatamiyyah adalah kesempurnaan syariat.

 

Berdasarkan ini, sebagian ulama (khususnya ulama Irfan) dalam mendefinisikan khâtam (baca; khâtim) mengatakan, khâtam, yakni nabi khâtam adalah nabi yang melewati seluruh tingkatan-tingkatan kesempurnaan dan tidak ada lagi tersisa satu tingkatan pun yang tidak dilewatinya sehingga dengan perantaraan orang lain jalan itu akan terlewati, dan dia juga mengajarkan kepada manusia jalan dan cara melewatinya.[1] Dalam definisi ini tidak hanya dijelaskan bahwa khâtamiyyah adalah tidak akan datang lagi nabi dan syariat sesudahnya (sesudah nabi akhir Rasulullah Saw), tetapi juga disebutkan ‘sebab’ mengapa tidak akan datang lagi nabi pemilik syariat baru. Menurut Syahid Muthahari, jika yang akan diberitakan kepada manusia tidak tersisa lagi, tingkatan yang akan dilewati sudah terlewati semua, yakni seluruh tingkatan dalam bagian ini sudah mencapai final maka dengan sendirinya nubuwwah juga mencapai puncak dan akhirnya.[2] (Baca Juga: Argumentasi  Kenabian)

 

Oleh karena itu, ‘sebab’ mengapa khatamiyyah tidak terjadi di awal pengutusan para nabi serta mengapa ia terjadi di zaman Rasulullah Saw, jawabannya dapat dianalisa dari dua dimensi. Pertama, berhubungan dengan pembawa syariat dan penerima wahyu dari sisi Tuhan; yakni para nabi As dan kedua, berhubungan dengan masyarkat yang menerima wahyu dan syariat; yakni manusia secara umum. Kedua dimensi tersebut memestikan prinsip kebertahapan dalam kesempurnaan; yakni mesti mukaddimah dan tahap demi tahap terlewati sampai tersedia syarat-syarat yang layak bagi diturunkan dan disampaikannya syariat akhir -dimana ia adalah paling sempurnanya kitab syariat Ilahi bagi masyarakat manusia-. Meskipun akal dan pengetahuan manusia yang terbatas tidak dapat mempersepsi seluruh dimensi dari masalah ini, tetapi apa yang sudah diungkapkan sebagai analisa dan penjelasan global terhadapnya, menurut akal, pengetahuan, dan pengalaman manusia, dapat diterima secara baik. Yakni meskipun kita tidak sanggup mengutarakan analisa rasional kesempurnaan syariat secara detail dan dalam seluruh makrifat-makrifat serta hukum-hukumnya; tetapi kita tetap dapat memaparkan berbagai  analisa dan kajian dari sebagian prinsip-prinsip syariat Islami dalam aspek akidah dan amal sehingga filsafat dan rahasia khatamiyyah menjadi lebih jelas.[3]

 

Monoteisme Qur’ani

Salah satu inti dakwah para nabi As adalah tauhid. Akan tetapi tauhid yang al-Qur’an tampilkan dan jelaskan, kendatipun dalam bentuk penjelasan dan tafsiran yang simpel, mengandung penafsiran dan pemahaman yang sangat tinggi dan dalam. Tauhid Qur’ani mengandung seluruh tingkatan-tingkatan tauhid (tauhid dzat, sifat, penciptaan, pengaturan, dan ibadah) dan memandang bahwa sumber semua itu adalah ke-basith-an dzat suci Tuhan dan ketakterbatasan kesempurnaan-Nya. Yakni ketunggalan Tuhan bukan dari jenis kesatuan angka, komprehensi, dan mahiyah; akan tetapi Tuhan adalah eksistensi murni dan tidak ada jalan sedikitpun bagi keterbatasan mahiyah dan kefakiran esensial kepada-Nya.

 

Sebagai bukti dari klaim ini adalah, al-Qur’an sesudah menjelaskan keesaan Tuhan, dia lantas menyebutkan sifat Qahhariyyat-Nya; yakni Tuhan sama sekali tidak memiliki keterbatasan serta tidak maqhûr (terkalahkan) sedikitpun dari batasan dan faqr wujudi (kefakiran eksistensial).[4] Oleh karena itu, menurut al-Qur’an, Tuhan adalah eksistensi murni dan kesempurnaan tidak terbatas. Berasaskan ini, asumsi dualisme atau politeisme merupakan asumsi yang mustahil (kontradiksi dengan monoteisme); sebab asumsi ini memestikan setiap dari keduanya memiliki keterbatasan eksistensial dan keberangkapan dari dimensi keberadaan dan ketiadaan; sementara selain dari ini, tidak mungkin dikonsepsi bentuk lain dari keberadaan dualisme dan politeisme. Natijah dari ini, asumsi ke-bashit-an dzat dengan keberangkapan dzat adalah saling kontradiksi dan tidak sesuai (sementara pembuktian tauhid memiliki burhan yang kokoh dan kebenarannya tidak tergoyahkan).

 

Oleh karena itu, gambaran tentang tauhid tidak dapat diperoleh dari ajaran agama lain dan tidak dapat diasumsikan lebih sempurna dan lebih tinggi sebagaimana yang dikandung dan dijelaskan oleh al-Qur’an.

 

Diriwayatkan dalam sebuah hadits dari imam Zainul Abidin yang menegaskan bahwa tauhid Qur’ani memiliki kandungan yang sangat dalam dimana hanya sesuai dengan starata pemikiran dan akal manusia dalam priode akhir sejarah manusia. Dalam hadits tersebut disebutkan, karena Tuhan mengetahui di akhir zaman akan datang manusia-manusia yang mempunyai kedalaman pandangan dan pemikiran maka Tuhan menurunkan surah Tauhid dan ayat-ayat awal surah Hadid. Jika seseorang menginginkan beranjak lebih tinggi dari tingkatan makrifat ketuhanan dari ini maka dia akan hancur;[5]sebab lebih tinggi dari ini, sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, akan berakhir pada kontradiksi.

 

Eskatalogi Qur’ani

Pengajaran al-Qur’an dalam masalah eskatalogi juga merupakan pengajaran yang paling sempurna dari seluruh pengajaran yang ada dan yang dapat diasumsikan dalam masalah ini. Al-Qur’an memandang maad manusia dalam dua dimensi jasmani dan ruhani; yakni kedua-duanya akan mahsyur (dikumpulkan dan dibangkitkan) di hari kiamat. Balasan dan siksaan ukhrawi juga sebagian berhubungan dengan kelezatan dan penderitaan badan dan sebagian berhubungan dengan kelezatan dan penderitaan ruh. Asumsi-asumsi lain selain dari pandangan ini, akan berakhir pada pengingkaran prinsip maad atau penggambaran tentangnya yang salah dan kurang sempurna. Oleh karena itu, dalam masalah eskatologi, tidak akan ditemukan konsepsi yang lebih sempurna dari apa yang diungkapkan oleh al-Qur’an.

 

Sistem Moralitas dalam Al-Qur’an

Suatu sistem moralitas yang ideal mesti mengandung pengajaran yang mengarahkan individu-individu manusia kepada kepemilikan sifat-sifat sempurna akhlaki dan terpuji serta menghilangkan dan menjauhkan mereka dari sifat-sifat tercela dan tidak terpuji akhlaki. Untuk mencapai kepada tujuan ini dibutuhkan; pertama, amal dan kedua, motiv serta tujuan. Apa yang berhubungan dengan amal tidak lain adalah  melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang terpuji dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang tercela. Cara  ini mesti  dilakukan secara kontinyu dan permanen; sebab pelatihan jiwa dalam melakukan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk yang berkesinambungan akan menyebabkan keutamaan dan kebaikan mengakar dan malakah dalam jiwa manusia.

 

Salah satu keutamaan manusia dibanding dengan maujud-maujud lainnya. dia memiliki kemampuan berikhtiar dalam perbuatannya. Karena itu,  manusia dalam mengambil keputusan untuk mengerjakan suatu perbuatan senantiasa berasaskan motiv dan tujuan yang dirancang dan dipilihnya. Sementara motiv dan tujuan dalam akhlak mempunyai pengaruh yang sangat asas dan mendasar bagi bentuk dan sistem moralitas yang akan ada.

 

Secara pokok terdapat tiga macam motiv dan tujuan yang bisa diutarakan:

1. Motif dan tujuan duniawi; yakni upaya untuk meraih kecintaan dan kepopuleran masyarakat sebagai sarana untuk mendapatkan manfaat-manfaat duniawi. Sistem moralitas materialis tidak punya pilihan selain menawarkan bentuk peraihan manfaat duniawi sebesar-besarnya; sebab ia tidak memiliki landasan teologis dan eskatologis yang mengarahkan manusia di samping peraihan manfaat duniawi juga pencapaian manfaat ukhrawi dalam bentuk  keselamatan dan kebahagiaan abadi.

 

2. Motif dan tujuan ukhrawi; yakni harapan untuk memperoleh balasan perbuatan baik bagi pelakunya yang akan diberikan kepadanya di hari kiamat. Sistem akhlak ini lebih baik dan lebih sempurna dibandingkan dengan sistem akhlak sebelumnya; tetapi tetap terlihat dalam sistem ini nuansa manusia sentris dalam bentuk maknawi yang langgeng, tidak dalam bentuk materialis yang tidak langgeng.

 

3. Motif dan tujuan Ilahi: yakni memandang bahwa keagungan, kemuliaan, keutamaan, dan kekuatan yang hakiki hanya milik Allah Swt. Karena itu, manusia dalam seluruh perbuatannya, baik itu perbuatan-perbuatan baik untuk mendapatkan kemuliaan dan keutamaan maupun menjauhi perbuatan-perbuatan buruk untuk tetap aman dari kekuatan yang lebih tinggi darinya, mesti senantiasa berpikiran mendekatkan diri kepada Tuhan dan tidak mencari perlindungan kecuali perlindungan-Nya. Berasaskan ini maka tidak ada tempat sekecil apapun dari sifat riya, cari popularitas, takut dari selain Tuhan, berharap kepada selain Tuhan, dan sifat-sifat rendah akhlak lainnya bagi jiwa yang terpatri dengan akidah ini.          

 

Dari dua metode terakhir yang disebutkan, metode paling akhir yang merupakan kekhususan dari al-Qur’an. Dan adapun metode kedua, telah diutarakan agama-agama wahyu sebelumnya dan menjadi subyek dakwah para nabi As, karena itu al-Qur’an juga menegaskan metode kedua ini. Sebagaimana terpahami dari ayat-ayatnya bahwa ia (al-Qur’an) di samping membenarkan kitab-kitab wahyu sebelumnya, juga menjadi muhaimin atas mereka: “Dan Kami telah menurunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya,….” (Qs. al-Maidah[5]: 48) Jadi al-Qur’an menyempurnakan sistem syariat-syariat sebelumnya dan menawarkan sistem akhlak yang paling sempurna. Oleh karena itu, al-Qur’an tidak menghapuskan metode akhlak yang kedua, bahkan ia menjadikannya berada dalam kevertikalan metode ketiga; sebab al-Qur’an mengetahui secara benar perbedaan manusia dalam memahami makrifat-makrifat tinggi tauhid serta mengambil paedah dan manfaat darinya.[6]

 

Dasar dan Prinsip Kemasyarakatan Dalam Al-Qur’an

Dasar dan prinsip yang al-Qur’an tawarkan dalam bidang hubungan kemasyarakatan, juga merupakan dasar dan prinsip yang paling sempurna yang diketahui oleh manusia. Dengan membandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan sistem keluarga, hak-hak madani, masalah-masalah ekonomi, hak-hak individu dan sosial, sistem pemerintahan, sistem politik, dan masalah-masalah lainnya yang berhubungan dengan masalah kemasyarakatan dengan undang-undang dan aturan manusia yang paling maju dalam masalah ini, maka dapat dipahami secara jelas kebenaran akan klaim ini.

 

Undang-undang kemasyarakatan Islam tegak berasaskan keadilan dan keutamaan; yakni hubungan kemasyarakatan dalam Islam diatur dan dijaga dalam bentuk sedemikian hingga yang memelihara prinsip keadilan dan keutamaan insani. Di samping itu kepentingan dan maslahat umum dikedepankan ketimbang kepentingan dan manfaat pribadi. Berasaskan ini, kecintaan dan persahabatan, kedamaian dan ketentraman, ketenangan dan keamanan, menjadi tujuan strategis dan mendasar Islam dalam kehidupan kemasyarakatan dan jalan untuk mencapainya hanya dengan cara menjaga keadilan dan keutamaan akhlaki. Adapun sarana yang menopang bagi terealisasinya tujuan tersebut, adalah sistem pemerintahan, pengaturan, dan pengawasan secara umum yang terlaksana lewat prinsip ‘memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran’.

 

Dalam hal ini kami menghindari untuk menjelaskan secara panjang lebar dan detail prinsip dan dasar Islam ini dengan menyebutkan dalil dan nash al-Qur’an serta riwayat-riwayatnya, sebab penguraian seperti itu tidak masuk dari tujuan penulisan ini.

 

Oleh karena itu, untuk mencukupkan kajian filsafat khâtamiyyah ini, kami kembali bawakan pandangan Syahid Muthahari dalam masalah ini. Sebagaimana yang kami sebutkan sebelumnya, Syahid Muthahari dalam mengomentarai definisi khâtam, yaitu  khâtam adalah nabi yang melewati seluruh tingkatan-tingkatan kesempurnaan dan tidak ada lagi tersisa satu tingkatan pun yang tidak dilewatinya… menyatakan, jika yang akan diberitakan kepada manusia tidak tersisa lagi, tingkatan yang akan dilewati sudah terlewati semua, yakni seluruh tingkatan-tingkatan sudah mencapai final seluruhnya maka dengan sendirinya nubuwwah juga mencapai puncak dan akhirnya. Yakni Syahid Muthahari lewat komentarnya terhadap definisi ini mengungkapkan filsafat dari khâtamiyyah, yaitu dikarenakan tidak ada matlab yang perlu diberitakan dan disampaikan kepada manusia lewat wahyu dan ilham lagi (dikarenakan seluruh tingkatan telah terlewati dan matlab telah disampaikan seluruhnya) maka tidak dibutuhkan lagi kedatangan seorang nabi  dan syariat baru sesudah kedatangan Nabi Islam Muhammad Saw dan syariat yang dibawanya.

 

Di samping itu, definisi ini juga meliputi makrifat-makrifat ketuhanan, aturan-aturan moralitas, hukum-hukum individual yang berkenaan ibadah, dan hukum-hukum kemasyarakatan. Dan sebagaimana kita ketahui bahwa tauhid, makrifat Ilahiyyah, dan makrifat rububiah mempunyai tingkatan-tingkatan dan semua tingkatan-tingkatan ini dijelaskan dalam al-Qur’an. Sementara itu kekhususan moralitas manusia; yakni habungan manusia dengan dirinya dan kebagaimanaan mengatur instink dan syahwatnya, telah dijelaskan dalam al-Qur’an dalam bentuk sistem akhlak yang paling tinggi. Demikian pula prinsip dan hubungan di antara manusia yang mesti tercipta dalam masyarakat dan yang mesti ditiadakan di dalamnya, juga  terkandung dalam konsep kemasyarakatan Qur’ani; karena itu, sesuatu yang menjadi tanggung jawab wahyu dan mesti disampaikan kepada masyarakat dengan perantaraannya, sudah tersampaikan semuanya. Dengan kata lain tidak tersisa lagi satu matlab pun yang akan diberitakan kepada manusia lewat wahyu dan ilham.

 

Rahasia Islam sebuah agama yang hidup dan lestari, pengajarannya yang  tidak dapat dibandingkan dan digantikan dengan pengajaran lain dalam setiap aspek kehidupan manusia; sebab agama ini tidak memberikan bentuk pengajaran yang bersifat parsial dan temporer sehingga hanya berhubungan dengan zaman dan wilayah khusus. Melainkan ia menawarkan pengajaran yang bersifat universal dan meliputi seluruh zaman dan tempat. Oleh karena itu, prinsip dan tujuan yang terungkap dalam revolusi agama tauhid ini tidak terkhususkan pada suatu zaman dan tempat tertentu, tetapi ia mengatasi seluruh zaman dan tempat. Hakikat bahwasanya hanya Tuhan yang mesti disembah, tidak terkhususkan bagi zaman dan tempat khusus dan juga tidak terkhususkan bagi suatu bagnsa dan suku khusus. Syiar tauhid Qur’ani yang mengajak penafian segala bentuk tuhan selain Allah dengan pernyataannya: “Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya…” (Qs. al-Baqarah[2]:255), senantiasa hidup dan baru dan selamanya tidak akan usang dan mati.

 

Demikian pula pengajaran Islam tentang maad dan eskatologi. Syiar al-Qur’an dengan seruan: Wahai manusia! Engkau merupakan suatu maujud yang hakikat dan identitasmu akan kembali kepada Tuhan, perbuatan dan amalmu tidak akan hilang serta realitas dan eksistensimu tidak akan musnah: “Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya. Dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna. Dan sesungguhnya kepada Tuhanmulah kesudahannya.” (Qs. an-Najm[53]: 39-42)  “…sesungguhnya Kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.” (Qs. al-Baqarah[2]: 156)

 

Dari sudut pandang Islam, bekerja dan berusaha adalah ibadah, karena itu bermalas-malasan, menganggur, dan menjadikan diri benalu bagi orang lain adalah sesuatu yang dicela dalam agama ini. Prinsip ini tentunya bersifat langgeng dan tidak akan terhapus, sebab sesuai dengan tabiat manusia yang memuji kerja dan mencela kemalasan. Selain itu, prinsip saling menolong dan persaudaraan, merupakan salah satu prinsip kemasyarakatan Islam yang juga bersifat lestari dan tidak akan terhapus. Dengan prinsip hubungan kemasyarakatan ini akan terciplah suasana aman dan tentram dalam masyarakat, sebab setiap muslim merasakan dirinya menjadi bagian dari saudara-saudara muslim lainnya.

 

Dasar dan prinsip yang telah disebutkan dan prinsip-prinsip serta aturan-aturan Islam lainnya, sedemikian hingga didesain oleh Tuhan sehingga tidak berhubungan dengan hanya kebudayaan, bangsa, suku, zaman, dan tempat khusus, tetapi bersifat universal dan berlaku selamanya.

 

Tafsiran Terhadap Khâtamiyiyyah

Pandangan dan penafsiran para cendekiawan mazhab-mazhab Islam terhadap khâtamiyyah dan syariat Islam –dari awal hingga kini-, bahwa syariat ini merupakan syariat Ilahi paling akhir dan sampai dunia ini berakhir ia akan menjadi agama hak Ilahi dan menjadi landasan serta neraca akidah, akhlak, dan amal perbuatan mereka.

 

Tidak diragukan, dalam setiap priode sejarah manusia dimana manusia mesti mengikuti syariat Ilahi dalam priode itu, mereka juga harus tetap menggunakan akal dan pengetahuannya. Sebab wahyu dan syariat diturunkan bukan untuk mengenyampingkan akal, pengetahuan, dan pengalaman manusia; akan tetapi ia diturunkan malah untuk mengangkat dan meluaskan horizon pemahaman dan pandangan teoritis manusia serta menjelaskan kepada manusia dimensi-dimensi yang lebih tinggi dari jangkauan akal dan eksperimennya. Meskipun kadar dan ukuran kebutuhan manusia kepada hidayah wahyu disepanjang sejarah adalah tidak sama, tetapi yang pasti prinsip kebutuhan manusia kepada makrifat dan hidayah wahyu tidak terbatas kepada zaman dan priode khusus dan manusia selamanya butuh kepada sumber ini untuk menapaki jalan menuju kebahagiaan dan kesempurnaan.

 

Berasaskan ini, maksud dari khâtamiyyah tidak berarti bahwa manusia dikarenakan telah mencapai kemekaran akal dan ilmu maka sesudah ini mereka tidak butuh lagi kepada hidayah dan bimbingan wahyu. Tidak berarti dengan minus wahyu mereka dengan kemampuan akal dan ilmunya sanggup memecahkan segala kebutuhan-kebutuhannya dalam kehidupan individu dan sosial, kehidupan materi dan spiritual, dan sanggup menyelesaikan seluruh masalah yang berhubungan dengan keselamatan dan kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Dalam hadits-hadits dijelaskan bahwa halal dan haram dalam agama khâtam ini berlaku hingga hari kiamat dan tidak akan menerima perubahan serta tidak akn dikarantinakan, yakni tidak akan datang syariat baru yang akan menghapusnya dan menggantikannya. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Zurarah bertanya kepada Imam Shadiq As tentang halal dan haramnya Tuhan; Imam Shadiq As berkata: Halalnya Muhammad Saw, halal selamanya hingga hari kiamat dan haramnya, haram selamanya hingga hari kiamat, tidak akan ada selainnya dan tidak akan datang selainnya.[7] Di samping riwayat ini masih banyak riwayat-riwayat lain yang berkenaan masalah ini dalam kitab-kitab hadits Syiah dan Sunni yang kami serahkan kepada pembaca untuk merujuknya.   

 

Tafsiran Lain Terhadap Khâtamiyyah

Dalam masalah khâtamiyyah ini terdapat tafsiran lain dari sebagian ilmuan dan pemikir Islam kontemporer yang menurut kami perlu dicermati, ditelaah, dan jika perlu dikritik. Menurut mereka, khâtamiyyah agama dan syariat adalah, manusia dikarenakan dari segi akal dan ilmu berada pada suatu kondisi zaman dimana mereka dengan sendirinya mampu mengenal jalan kehidupannya maka mereka tidak butuh kepada bimbingan kenabian dan hidayah wahyu lagi. Sebagaimana bentuk tafsiran ini dapat kita lihat dari ungkapan dan pernyataan Doktor Abdul Karim Sorush salah seorang pemikir kontemporer muslim dari Iran. Dalam salah satu tulisannya dia menyatakan, hal yang jelas dapat dilihat, manusia menemukan ketidakbutuhannya dari para nabi dan pengajaran-pengajaran mereka. Dan itu menggambarkan bahwa terkadang nisbah manusia dengan maktab para nabi telah berganti dan kekuasaan yang dimiliki maktab para nabi dalam priode-prioede yang telah lalu atas manusia, sekarang ini semakin melemah.

 

Penyebab Ketidakbutuhan manusia sekarang ini dari para nabi adalah pengajaran-pengajaran mereka yang masuk ke dalam akal manusia terhitung  perkara-perkara yang badihi. Berperang dengan penyembah berhala yang ketika itu butuh kepada (pengajaran-pengajaran para nabi) dan upaya-upaya mengantisipasinya, sekarang ini ketidakbenarannya (ketidakbenaran penyembahan berhala) merupakan perkara badihi bagi manusia berperadaban dan jadid (baru). Keberhasilan para nabi tadinya adalah nilai-nilai moralitas seperti keadilan, amanat, dan lainnya mereka jadikan sebagai perkara-perkara badihi kebudayaan manusia, dan sekarang manusia tidak butuh lagi kepada peringatan-peringatan mereka.”[8]

 

Seirama dengan tafsiran di atas, sebelumnya seorang pemikir terkenal muslim berkebangsaan Pakistan Muhammad Ikbal menyatakan, Nabi Islam Saw berada antara alam qadim (lama) dan alam jadid (baru); yakni sampai batas matlab yang berhubungan dengan sumber wahyu dan ilham adalah dia maka wujudnya berhubungan dengan alam qadim dan tempat yang menjadi subyek berhubungan dengan ruh wahyu dan ilham adalah dia  maka bergantung dengan alam baru….

 

Permasalahan kenabian dalam Islam sampai pada suatu kedudukan dimana ia memperoleh batas kesempurnaannya dan kenabian mencapai akhirnya. Peristiwa ini meliputi makna ini bahwa dari sini hingga kemudian, bidang-bidang kehidupan tidak boleh berada dalam tangan orang-orang tertentu dan khusus, dan manusia untuk dapat secara sempurna menggunakan sumber-sumber nurani dan kesadaran puncaknya, mesti menyerahkan ikhtiyarnya kepada dirinya.

 

Realitas perkara, bahwa al-Qur’an anfusi dan âfâqi dipandang sebagai sumber-sumber pengetahuan dan makrifat dan ini adalah tanggung jawab manusia megaplikasikan seluruh dimensi-dimensi dan tingkatan-tingkatan yang membuahkan potensi dan kelayakannya.

 

… terdapat kecenderungan dalam sistem kehidupan yang menyediakan kondisi perasaan dan kemandirian kepada aktivitas dan mujahadah ruhani dan maknawi. Dan dengan perantaraan penciptaan akidah ini akan melahirkan pemahaman bahwa priode kekuasaan dan kelebihan pemilik-pemilik kekuatan individual yang mengklaim memiliki kedudukan matafisika, telah berakhir dalam sejarah manusia.[9]

 

Mencermati bentuk tafsiran terhadap khâtamiyyah ini maka dapat dikemukakan beberapa isykal dan kritik terhadapnya:

Kritik dan Isykal Terhadap Pandangan Abdul Karim Sorush

Kritik terhadap pernyataan Abdul karim Sorush ini dapat diungkapkan dalam bentuk beberapa poin:

1. Menyalahi hadits-hadits Nabi Saw yang dengan jelas menyebutkan kelanggengan hukum-hukum Islam dan memandang bahwa kebutuhan manusia terhadap agama merupakan suatu perkara yang berlaku selamanya. Seperti hadits berikut ini: Imam Baqir As meriwayatkan dari Rasulullah Saw bahwa beliau bersabda: Wahai manusia! Kehalalanku, halal hingga hari kiamat dan keharamanku, haram sampai hari kiamat.[10] Demikian pula pandangan ini tidak sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan khâtamiyyah. Seperti ayat berikut ini: “…pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu….” (Qs. al-Maidah[5]: 3) Ayat-ayat yang berkenaan khâtamiyyah menegaskan bahwa kitab al-Qur’an merupakan kitab hidayah dan pengingat bagi manusia dan agama Islam yang sempurna telah menjadi agama yang diridai Tuhan yang akan membawa manusia kepada keselamatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, bagaimana bisa diterima bahwa sesudah ini (khâtamiyyah) maka manusia tidak butuh lagi kepada agama, hidayah, dan peringatan-peringatan al-Qur’an?!

 

2. Penyembahan berhala, hatta dalam bentuknya yang tua dan sangat awal, hari ini masih terdapat dalam masyarakat manusia. Jadi berdasarkan alasan penyembahan berhala merupakan perkara badihi bagi manusia sekarang maka semestinya mereka tidak butuh lagi kepada pengajaran para nabi, jelas sekali tertolak dengan bukti masih adanya masyarakat manusia yang menyembah berhala dalam bentuknya yang awal. Tambahan pula, bentuk baru penyembahan berhala di era sekarang ini lebih kabur dan lebih banyak dapat menyesatkan masyarakat manusia ketimbang dari bentuknya yang tua dan awal.

 

3. Mengapa kita memandang bahwa karena akhlak di dalam agama didasari oleh perkara-perkara badihi maka manusia tidak butuh kepada peringatan-peringatan agama? Memangnya agama terbangun dengan beberapa prinsip akhlak badihi saja? Pada dasarnya prinsip dan dasar berbagai makrifat dan pengetahuan, baik itu teoritis dan amali, senantiasa terbangun dari hal dan perkara badihi, dan pengetahuan terhadap ini tidak terkhususkan bagi manusia baru saja. Jika kebadihian perkara-perkara tersebut menjadi dalil ketidakbutuhan manusia baru atas agama maka natijah dari ini pengingkaran terhadap prinsip agama dan kenabian, sebagaimana sebagian pengingkar kenabian dan agama menyandarkan kepada matlab seperti ini.

 

Kritik Ustad Syahid Muthahari atas Pandangan Muhammad Iqbal

Ustad Syahid Muthahari mengutarakan beberapa poin kritikan penting atas pandangan Muhammad Iqbal tentang filsafat kepamungkasan kenabian -yang telah kami sebutkan di atas-. Berikut ini kami bawakan ringkasan kritikannya:

1. Filsafat ini, jika benar, ia adalah filsafat keberakhiran keberagamaan, bukan filsafat kepamungkasan kenabian. Dan kerja wahyu Islami (dalam hal ini) hanya memberitahukan berakhirnya priode agama dan mulainya priode akal dan ilmu. Matlab ini adalah menyalahi kedarurian Islam.

 

2. Teori tersebut juga menyalahi pandangan Muhammad Iqbal sendiri; sebab dia berusaha menetapkan matlab ini bahwa kebutuhan manusia kepada agama dan keimanan mazhab, seukuran kebutuhannya kepada ilmu. Dia dengan jelas mengungkapkan bahwa kehidupan butuh pada ushul yang tetap dan furu’ yang berubah, dan kerja ijtihad Islami adalah menyingkap kesesuaian furu’ atas ushul.[11]

 

3. Muhammad Iqbal menegaskan bahwa kepamungkasan kenabian sama sekali tidak bermakna pengalaman internal (batini) –yang menurut keyakinannya dari segi kualitatif tidak berbeda dengan pengalaman kenabian-; yakni ilham dan mukasyafah serta karamah para wali Tuhan tidaklah berakhir. Kendatipun ilham, mukasyafah, dan karamah para wali itu tidak memiliki hujjiyyah dan mesti seperti setiap kejadian yang lain berada dalam koridor pengamatan rasionalitas.[12] 

 

Tafsiran dari khâtamiyyah tersebut tidak sesuai dengan pandangan ini; sebab dia memandang perkara-perkara ini sejenis instink, dan instink adalah suatu hidayah yang berada di luar suatu maujud dan bukan merupakan suatu pilihan; tetapi akal (rasionalitas) adalah suatu pengalaman dan hidayah dari dalam dan muncul dari pilihan.

 

Akan tetapi harus diketahui bahwa wahyu bukanlah dari jenis instink. Instink adalah suatu persepsi yang tidak lebih tinggi dari persepsi indra, imajinasi, dan akal, sementara wahyu merupakan persepsi yang lebih tinggi dari persepsi indra, imajinasi dan akal.

 

4. Muhammad Iqbal, sangat menentang pandangan sebagian ilmuan barat yang memandang ilmu sebagai pengganti iman; tetapi pandangannya tentang filsafat kepamungkasan kenabian natijahnya berakhir dengan pandangan tidak benar ini; yakni ilmu menjadi pengganti dari iman.

 

5. Pandangan Muhammad Iqbal, juga tidak sesuai dengan penafsiran para urafa tentang kepamungkasan kenabian, padahal dia sangat memuja urafa dan pandangan-pandangannya. Urafa menafsirkan khâtamiyyah bahwa seluruh tingkatan-tingkatan kesempurnaan telah terjalani dan terlewati dengan perantara Nabi Islam Saw; yakni Nabi Khâtam Saw telah melewati seluruh jalan-jalan dan menjadikan seluruh hakikat-hakikat berada dalam ikhtiar manusia, karena itu tidak ada lagi kebutuhan terhadap kedatangan nabi lain. Para urafa memandang khâtamiyyah dengan pengertian kesempurnaan kenabian dan agama, tetapi penafsiran yang Muhammad Iqbal ungkapkan tentang khâtamiyyah, yakni khâtamiyyah bermakna kesempurnaan rasionalitas individual manusia.[13]

 

Agama Bersifat Tetap dan Kebutuhan Manusia Berubah

Hal yang menjadi pertanyaan penting dalam bab Khâtamiyyah agama adalah bagaimana dapat dipertemukan antara khâtamiyyah dan ketidak berubahan agama, serta jawaban permasalahan dan kebutuhan-kebutuhan manusia yang senantiasa berubah? Dari satu sisi, kehidupan manusia senantiasa bergerak dan berubah dan setiap hari muncul permasalahan baru dimana agama mesti memberikan jawaban hukum atasnya, sementara dari sisi lain, hukum-hukum agama telah dijelaskan di era sebelumnya yang sesuai dengan syarat-syaratnya dimana syarat-syarat tersebut secara total sudah mengalami perubahan di era sekarang. Dalam konteks ini, bagaimana bisa syariat yang tetap menjadi jalan penyelesaian hukum dan pemberi jawaban hukum terhadap masalah-masalah yang berubah?

 

Dalam memecahkan masalah ini, kita harus memperhatikan dua permasalahan berikut ini:

a.      Sistem penetapan undang-undang dan penetapan hukum Islam sedemikian hingga, sehingga dalam keberadaannya yang tetap dan permanen dapat disinkronkan dengan pergerakan dan perubahan sejarah dan kemasyarakatan. Dan juga dapat disesuaikan dengan syarat-syarat zaman dan tempat yang beragam serta menawarkan jalan kehidupan agamis dalam setiap zaman, tempat, priode, dan bagi setiap generasi.

b.     Meskipun zaman secara zat berganti dan berubah dan syarat-syarat serta kemestiannya beragam; tetapi tidaklah demikian bahwa seluruh hakikat-hakikat yang berkuasa dalam alam natural dan alam manusia mesti mengalami pergantian dan perubahan. Di alam yang senantiasa bergerak dan berubah ini terdapat serentetan hakikat-hakikat yang bersifat tetap dan tidak berubah dan selamanya tidak tersentuh oleh keusangan dan kehancuran. Apakah dengan berlalunya zaman maka landasan pemikiran rasional seperti prinsip non-kontradiksi, huwiyyah, dan kausalitas menjadi terhapus dan tidak berlaku lagi? Apakah ungkapan ini, anak cucu Adam ibaratnya anggota-anggota satu tubuh, dikarenakan telah berusia berabad-abad maka terhapus dan tidak dapat lagi diamalkan? Apakah prinsip keadilan, amanah, dan kebaikan, dikarenakan telah berusia ribuan tahun maka sudah menjadi usang dan kehilangan maknanya di zaman sekarang? Tentu kita semua dengan hanya mengkonsepsi secara benar subyek permasalahan ini maka akan memberikan jawaban negative terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut.

 

Pilar-pilar Dinamis Syariat Khâtam

Sekarang kita akan berusaha menyingkap mekanisme dan sistem kerja khusus yang ada dalam sistem penetapan undang-undang Islam dan dengan itu kita dapat menunjukkan hubungan timbal balik antara dua konsepsi ‘tetap’ dan ‘berubah’ dalam bab agama dan kehidupan manusia.

 

1. Hukum-hukum awwaliyyah dan tsanawiyyah

Dalam syariat Islam terdapat dua bentuk aturan dan hukum: sekelompok aturan dan hukum yang berhubungan dengan syarat-syarat biasa dan lazim kehidupan manusia yang disebut hukum-hukum awwaliyyah (primer) dan sekelompok aturan dan hukum lainnya yang berhubungan dengan syarat-syarat terpaksa dan tidak biasa yang disebut hukum-hukum tsanawiyyah (sekunder). Hukum-hukum tsanawiyyah mengawasi hukum-hukum awwaliyyah dan dalam syarat-syarat yang tidak biasa dan terpaksa, ia akan merubahnya atau mencabutnya secara keseluruhan. Misalnya kewajiban berpuasa dalam bulan ramadhan merupakan salah satu hukum awwaliyyah yang berhubungan dengan syarat-syarat biasa. Akan tetapi jika berpuasa di bulan itu akan menimbulkan dharar dan bahaya bagi kesehatan dan keselamatan seseorang maka dalam hal ini hukum tsanawi yaitu kaidah menghilangkan dharar yang akan berkuasa (berlaku), dan kewajiban berpuasa bagi orang yang dharar dan berbahaya baginya untuk itu menjadi terangkat (tidak diwajibkan). Demikian juga jika seseorang apabila berpuasa maka akan membahayakan orang lain; seperti perempuan yang lagi mengandung atau ibu yang lagi menyusui bayinya dan baginya berpuasa akan membahayakan kandungannya atau bayinya.

 

Hukum ini juga berlaku pada kondisi dimana berpuasa akan menyebabkan kesulitan yang sangat, yaitu kesulitan yang berada di luar batas yang lazim dalam mengerjakan taklif ini, kendatipun kesulitan tersebut tidak sampai pada tahap mencelakakan badan.

 

Hukum-hukum tsanawi bentuk ini juga berlaku dalam ibadah-ibadah lainnya dan bahkan juga berlaku dalam maslah-masalah muamalah serta fungsinya adalah mengubah hukum awwali atau mencabutnya secara keseluruhan.[14]

 

Sebagai contoh lain dalam masalah ini, hukum awwaliyyah memakan daging dan makanan-makanan lainnya yang memiliki kehalalan (yakni hukumnya mubah). Akan tetapi jika memakannya akan menimbulkan bahaya serius terhadap badan maka memakannya akan menjadi haram, sebagaimana jika meninggalkannya akan membawa bahaya bagi badan dan memakannya menjadi daruri bagi kehidupan manusia maka memakannya dalam hal ini adalah wajib. Di sini hukum tsanawi ‘dharar’ mengubah hukum awwali, tapi pada saat yang sama hukum awwali tidak dinasikh dan untuk selamanya tetap ada.

 

2. Tasyri’ ijtihad dalam Islam

Ijtihad dalam peristilahan ulama ushul fikh adalah usaha dan upaya untuk melakukan instinbat hukum-hukum syar’i dengan merujuk kepada kitab al-Qur’an, sunnah, dan kaidah-kaidah akal. Dan sebutan mujtahid diberikan bagi seseorang yang memiliki kemampuan melakukan instinbat hukum-hukum syar’i yang tentunya setelah mempelajari cara menginstibat dengan merujuk kepada dalil-dalil al-Qur’an, sunnah, dan kaidah-kaidah akal. Malakah atau kekuatan berijtihad, meskipun merupakan suatu hakikat yang basith dan tidak mempunyai bagian-bagian; akan tetapi memiliki tingkatan-tingkatan serta derajat-derajat lemah dan kuat, karena itu terdapat kemungkinan dalam ijtihad berdimensi tajazzi (mempunyai kemampuan berijtihad dalam satu bab hukum atau lebih, tetapi tidak dalam seluruh bab-bab hukum).[15]

 

Para mujtahid, pada hakikatnya mereka adalah kelompok ahli dalam masalah pengetahuan hukum-hukum agama. Di samping itu terdapat juga kelompok ahli dalam bidang-bidang ilmu agama lainnya, seperti dalam bidang sejarah, tafsir al-Qur’an, akidah Islam, perawi hadits-hadits (ilmu rijal), pengenalan teks-teks hadits, dan bidang ilmu agama lainnya. Para mujtahid ini merupakan orang-orang yang menguasai bidang pengetahuan hukum-hukum Islami tentang perbuatan dan tindakan mukallaf dalam ibadah dan muamalah. Bidang keilmuan inilah yang membentuk ilmu fikh; dan para fuqaha (ahli fikh) serta para mujtahid merupakan orang-orang ahli dalam disiplin ilmu ini. Oleh karena itu, sebagaimana merupakan kemestian terdapatnya pakar dan ahli dalam masalah-masalah teoritis dan praktis dalam masyarakat manusia maka keberadaan ahli dan pakar dalam hukum-hukum syar’i juga merupakan suatu keniscayaan serta meragukannya tidak lain adalah suatu bentuk sophisme.

 

Sejarah ijtihad dalam dunia Islam, kembali kepada zaman Nabi Islam Saw. Di zaman itu, di antara para sahabat Nabi Saw terdapat orang-orang yang dikenal sebagai ilmuan agama. Perbedaan para sahabat dalam memahami hadits-hadits yang mereka dengar dari Nabi Saw, menimbulkan perbedaan awal dalam hadits-hadits. Pangkal dari itu adalah kelupaan atau kelalaian dari sebagian kekhususan-kekhususan dan kait-kait yang terdapat dalam suatu hadits dan yang tidak terdapat dalam hadits lainnya, atau penukilan kait dan kekhususan dalam suatu hadits dan ketiadaan penukilannya dalam hadits lainnya serta hal-hal semacam itu. Adanya perkara dan kondisi seperti inilah yang kemudian menjadi faktor timbulnya ijtihad di antara para sahabat-sahabat Nabi saw. Dalam bentuknya, seperti membandingkan hadits-hadits antara satu dengan lainnya, melakukan takhsis terhadap yang umum dan melakukan pengkaitan terhadap yang mutlak, atau melakukan campur tangan terhadap lahiriah hadits dengan bersandar kepada karinah hâliyyah (kondisi) dan karinah maqâliyyah (pengungkapan).

 

Cara dan metode ini  yang tidak lain adalah ijtihad mustalah dalam hukum syar’i, pada dasarnya telah dilakukan para sahabat di zaman Nabi Saw dan beliau tidak melarangnya, karena itu metode ijtihad ini dapat dikatakan mendapatkan legalitasnya sejak itu dan tetap berlanjut setelah beliau Saw wafat. Bahkan, dikarenakan penyebaran dan perluasan jangkauan agama Islam dan perbauran yang tak terhindari dengan bangsa-bangsa yang beragam beserta budaya-budaya mereka dan bermunculannya hadits-hadits buatan serta semacamnya maka kebutuhan kaum muslimin terhadap ijtihad semakin bertambah kuat.[16]

 

Berdasarkan itu, tasyri’ (pelegalisasian) ijtihad dalam syariat Islami, mempunyai pengaruh yang sangat penting bagi kelayakan fikhi Islami sebagai pemberi jawaban dan pemberi solusi hukum terhadap masalah-masalah baru yang muncul di dunia Islam. Dan sebagai natijah dari itu adanya kesesuaian Khâtamiyyah syariat Islam dengan perubahan syarat-syarat kehidupan dan kebutuhan-kebutuhan baru umat manusia.

 

Mesti kita ketahui bahwa ijtihad tidaklah berarti pengubahan kaidah-kaidah dan ushul-ushul global syariat; akan tetapi penerapan dan penjabaran kaidah-kaidah atas misdak-misdak, subyek-subyek khusus dan baru. Diriwayatkan bahwa aimmah As berkata: Kami yang menjelaskan kaidah-kaidah dan ushul-ushul global (syariat dan hukum) dan kamu yang melakukan istinbat furu’ dari ushul-ushul ini.[17]  Berdasarkan ini, kaidah-kaidah dan ushul-ushul syariat terbatas dan bersifat tetap; akan tetapi cabang-cabang (furu’) tidak terbatas dan berubah-ubah. Tentunya furu’ yang terjadi di zaman para imam As, telah dijelaskan hukum-hukumnya oleh para imam As sendiri. Tetapi furu’ yang tidak muncul di zaman mereka dan tidak ditanyakan kepada mereka hukumnya maka jawaban hukum terhadap furu’ itu diserahkan tanggung jawabnya kepada para mujtahid.

 

Sekarang jelaslah bahwa ijtihad sahih merupakan kekuatan penggerak yang dinamis atas Islam, ia dapat menberikan jalan solusi hukum di antara ketidak mungkinan terhapusnya hukum-hukum Islam dan ketidak berubahan  sesuatu yang halal dan haram dalam Islam dengan  berbagai masalah-masalah baru yang muncul. Pergerakan dan perubahan zaman melahirkan masalah-masalah baru  yang harus ditangani para mujtahid, sementara itu kaidah-kaidah dan ushul-ushul Islami tidak mengalami perubahan dan bersifat tetap. Oleh karena itu, tugas para mujtahid untuk memperoleh hukum masalah-masalah baru dengan jalan ijtihad sahih dan sebagai natijah dari ini, hukum-hukum tsâbit (tetap) dan syariat khâtam dapat memberikan jawaban dan solusi hukum terhadap masalah-masalah baru ummat manusia dalam segala zaman dan tempat.[18]

 

Seorang faqih dan mujtahid yang mengenal zaman dan tempat beserta kemestian-kemestiannya, dengan kaidah-kaidah kulli hukum dan ushul-ushul syariat yang tetap, dapat meluaskan penerapan dan penjabaran hukum-hukum terhadap masalah-masalah yang baru muncul. Istinbat hukum-hukum yang berhubungan dengan subyek-subyek baru, seperti transfusi darah, penggantian ginjal dan anggota-anggota badan lainnya, pembuahan sperma di luar rahim, cloning, transaksi bank dan asuransi, jual-beli mata uang dan saham, dan berbagai hukum yang berhubungan dengan masalah-masalah baru lainnya serta pengenalan berbagai furu’ yang berhubungan dengan mereka  dari ushul-ushul awwaliyyah syar’i –tanpa menggunakan subyek-subyek tsanawi seperti kemestian ‘usr wa haraj (kesusahan dan kesempitan)- bukti kekuatan syariat dalam memberikan solusi hukum terhadap kebutuhan-kebutuhan baru zaman.

 

Hal yang menimbulkan tanda tanya dan kritik terhadap kesempurnaan dan khâtamiyyah agama adalah kediaman syâri’ dinisbahkan dengan hukum sebagian dari subyek-subyek baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, atau dengan kata lain tertutupnya pintu ijtihad. Dengan keluasan hukum-hukum syar’i dan kelanggengan istinbat fikhi maka pancaran syariat ibaratnya cahaya mentari dan sinaran bulan yang selalu memancar dan bersinar atas seluruh fenomena-fenomena dan peristiwa-peristiwa (yang ada dalam masyarakat di setiap zaman dan tempat).[19]

 

3. Parameter Hukum dan kaidah ‘Aham wa Muhim’

Salah satu kaidah yang berlaku dalam ushul fikh imamiyah adalah kaidah aham wa muhim (lebih penting dan penting). Maksud dari kaidah ini adalah bahwa setiap kali terjadi tabrakan dalam maqam aplikasi dua taklif syar’i dikarenakan keterbatasan-keterbatasan zaman dan semacamnya; yakni mukallaf tidak mampu menjalankan dua taklif sekaligus, dalam bentuk ini maka mukallaf mesti menjalankan taklif yang nilai urgensinya lebih besar dari yang lainnya serta melebihkan yang ‘aham’ atas yang ‘muhim’. Misalnya dalam kasus tidak boleh menduduki atau menggunakan milik orang lain tanpa keridaan dan izin pemiliknya. Sekarang apabila jiwa seorang mukmin dalam milik orang itu berada dalam bahaya dan untuk mendapatkan keridaan dan izinnya, adalah tidak mungkin atau bahaya itu sangat serius dan harus segera ditangani dan melambatkan atau mengakhirkan dalam melakukan tindakan penyelamatan terhadap mukmin tersebut akan menyebabkan kehancuran dan kematiannya, dalam bentuk ini, mesti menduduki atau menggunakan milik itu dan menyelamatkan mukmin dari bahaya kehancuran.

 

Kaidah fikhi akli ini berpijak pada suatu landasan teologis bahwa syariat adalah perbuatan Tuhan Yang Maha Bijaksana dan perbuatan pelaku yang bijaksana tanpa tujuan adalah sesuatu yang tidak bijaksana (karena itu pasti perbuatan pelaku bijaksana mempunyai tujuan). Tujuan tersebut yang kembali kepada para mukallaf sendiri –bukan kepada Tuhan- adalah milâk (tolok ukur) hukum syar’i. Dari dimensi inilah maka ulama ushul fikh mengatakan: Hukum-hukum syar’i mengikuti tolok ukur nyata, maslahat, dan mafsadat nafsul amri.[20]

 

Setiap kali milak hukum-hukum yang merupakan sebab-sebab final hukum-hukum itu dihasilkan, maka dalam bentuk ini, dalam kondisi dan peristiwa terjadinya tazâkhum (bertabrakan dua hukum) maka taklif yang mempunyai milak lebih penting harus dilebihkan. Dan mengerjakannya menjadi keharusan dan kemestian.

 

Para mujtahid dalam ilmu ushul, telah berusaha menguraikan pembahasan yang luas dan panjang lebar tentang perkara-perkara dan misdak-misdak tazâkhum. Dalam hal ini secara global untuk mengetahui yang mana nilai urgensi hukumnya melebihi yang lainnya dapat diperoleh dari salah satu cara berikut ini:

1.      Kekhususan-kekhususan yang terdapat dalam dalil-dalil hukum;

 

2.     Mempelajari kesesuaian yang ada antara hukum dan subyek;

 

3.     Teliti dan akurat dalam milak hukum-hukum syar’i.[21]

 

Perlu diketahui pekerjaan menentukan ‘aham wa muhim’ subyek-subyek dan misdak-misdak hukum merupakan sesuatu yang pelik, karena itu perbedaan kaidah fikhi ‘aham wa muhim’ ini dibandingkan dengan kaidah fikhi nakli, seperti kaidah ‘nafi dharar’ dan kaidah ‘nafi haraj’ dan semacamnya adalah bahwa penentuan misdak-misdak kaidah seperti ‘nafi dharar’ dan ‘nafi haraj’ berada dalam tanggung jawab urf atau ahli seperti dokter dan lainnya. Akan tetapi menentukan yang mana nilai urgensi hukum sesuatu melebihi nilai urgensi hukum lainnya merupakan pekerjaan yang rumit dan membutuhkan ketelitian yang galibnya berada dalam tanggung jawab faqih dan mujtahid. Yakni di sini penentuan hukum dan subyek hukum keduanya dilakukan dengan perantara mujtahid.

 

Di samping tiga bentuk pilar-pilar syariat khâtam yang kami sebutkan di atas, juga terdapat pilar-pilar lainnya, yaitu peranan akal dalam ijtihad dan tanggung jawab serta ikhtiar seorang pemimpin pemerintahan Islami yang dalam hal ini disebut pemerintahan wilayat faqih terhadap berbagai masalah yang berhubungan dengan sosial dan pemerintahan Islam. Dikarenakan menyebutkan tiga pilar-pilar syariat khâtam tersebut telah memadai untuk memahami bagaimana syariat khâtam ini dalam kondisinya tetap dan permanen, tetap mempunyai nilai aplikasi yang dinamis dan antisipasif terhadap berbagai perkembangan dan perubahan zaman maka kami tidak menyempatkan diri lagi untuk menguraikan pilar-pilar lainnya. 

 

Referensi:

[1]. Syahid Muthahari, Khâtamiyyat, Hal. 57.

[2]. Ibid, Hal. 58.

[3]. Ali Rabbani Gulfaigani, Kalam-e Tathbiqi  (Nubuwwat, Imamat wa Maad), Hal. 115-116.

[4]. Tafsir al-Mizan, Jld 6, hal. 86-91.

[5]. Syekh Shaduq, Kitab Tauhid, Bab 40, hadits 2.

[6]. Merujuk: Tafsir al-Mizan, Jld. 1, Hal. 354-360.

[7]. Kulainy, Ushul Kafi, Jld. 1, Kitab fadhlul Ilm, bab 17, hadits 19.

[8]. Majalah Kyân, makalah (Nagâhi beh Kârnâmeh Kâmyâb-e Anbiya), Nawesyteh Abdul Karim Sorush.

[9]. Gulam Reza Saidi, Andisyehâ-ye Iqbal Lahore, Hal. 199-200.

[10]. Amily, Wasail as-Syiah, Jld. 18, Hal. 124. 

[11]. Syahid Muthahari, Ehyây-e Fekr-e Diny dar Islâm, Hal. 168-169.

[12]. Ibid, Hal. 146-147.

[13]. Ali Rabbani Gulfaigani, Kalam-e Tathbiqi  (Nubuwwat, Imamat wa Maad), Hal. 126.

[14]. Tentang kaidah nafi dharar dan aplikasinya, merujuk pada kitab Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Bejnurdy, Jld. 1, Hal. 176-208.

[15]. Muhakkik Hurasany, Kifayatul Ushul, Jld. 1, Hal. 422.

[16]. Muhammad Husain Kasyiful Githa, Aslu Syi’ah wa ushuluha, hal. 146-148.

[17]. Wasâil as-Syiah, Jld. 18, Hal. 41.

[18]. Syahid Muthahari, Khâtamiyyat, Hal. 133-140.

[19]. Jawadi Amuly, Syariat dar Ayineh Makrifat, hal. 203-204.

[20]. Ali Rabbani Gulfaigani, Kalam-e Tathbiqi  (Nubuwwat, Imamat wa Maad), Hal. 135.

[21]. Ibid, Hal. 136.

 

Sumber:
www.id.al-shia.org
www.wisdoms4all.com

 

  • Print

    Send to a friend

    Comment (0)