• Black
  • perak
  • Green
  • Blue
  • merah
  • Orange
  • Violet
  • Golden
  • Nombre de visites :
  • 90
  • 25/2/2018-18:51
  • Date :
Dirayah

Metode Kritik Sanad dan Matan Hadis

Ilmu kritik hadis, baru belakangan ini menjadi disiplin ilmu tersendiri dalam wilayah ilmu hadis yang memiliki cabang berjumlah 93, cikal bakal atau praktiknya sebenarnya telah tumbuh sejak masa Rasul.

metode keritik sanad dan matan hadis
Dalam Islam, kedudukan hadis sebagai sumber ajaran menempati posisi kedua setelah al-Quran. Ia bukan saja sebagai penguat dan penjelas al-Quran, tapi juga bisa dijadikan dasar bagi penetapan hukum barn yang tidak dijelaskan al-Quran. Bahkan, bagi yang mempercayai adanya nasikh dan mansukh, ia juga berfungsi untuk menasakh al-Quran (Zahu, 1984:37- 39).

Mengingat posisinya yang demikian penting, sementara keberadaannya tidak seperti al-Quran yang Qathiyulwurud (pasti)

(Baca juga: Obyek Utama Ilmu Hadis-Dirayah)

Dalam hal ini, ilmu naqd al-hadis menampakkan titik urgensinya dalam mempertahankan dan mempertanggungjawabkan otentisitas hadis secara ilmiah.

Sejarah Kelahiran dan Perkembangan
Secara bahasa, naqd berarti kritik, penelitian, analisis, pengecekan, dan pembedaan[1] (Wehr, 1971 :990 dan Munawwir, 1984:1551). Kata kritik itu sendiri berasal dari bahasa latin yang berarti menghakimi, membandingkan, atau menimbang (Semi, 1989:7). Sedangkan menurut istilah, ilmu kritik hadis adalah ilmu yang menyeleksi atau membedakan antara hadis shahih dengan dhaif (lemah) dan meneliti rawinya apakah dapat dipercaya serta kuat ingatannya (tsiqqah) atau tidak (Azami, 1990:5).

Jadi, karena tujuan kritik hadis untuk menentukan shahih tidaknya sebuah hadis, maka yang jadi obyek kritiknya bukan saja materi (matan) hadis dikenal dengan kritik intern, tapi juga sistem isnad (penyandaran) yang melahirkan sanad (jalur transmisi) dikenal dengan kritik ekstern.

Dalam operasionalisasinya, kritik hadis bertumpu pada standar atau kriteria hadis shahih, yaitu bila sanadnya sampai pada Nabi, rawinya tsiqqat (adil dan dhabit, yakni kuat ingatannya), dan tidak terdapat kejanggalan (sydzudz) dan cacat atau illat (Shalah, 1989:7-8).

Oleh sebab itu, dalam meneliti sanad, seorang kritikus hadis dituntut untuk menguasai Ilmu Tarikh al-Ruwwat, al-Thabaqat, Ilmu Jarh wa al-Taâdil, dan ilmu-ilmu terkait lainnya. Bahkan sebelum menentukan adil tidaknya keberadaan rawi, ia sendiri (si kritikus tersebut, red.) harus adil, bertaqwa, dan tidak fanatik terhadap golongan tertentu (al-Khatib, 1991:106). Demikian pula dalam melakukan kritik matan, ia harus menguasai ilmu-ilmu terkait seperti Ulum al-matan, Ilmu Mukhtalaf al-Hadits, Ilmu Nasikh wa Mansukh al-Hadits, Ilmu Gharib al-Hadits, dan lain-lain (Al-Jawabi, 1987:84-85).

Dan ilmu kritik hadis inilah, pertama, melalui kritik sanad, akan diketahui hadis marfuâ, mauquf, dan maqtuâ, bahkan maudhuâ, matruk, munkar, muâallal, mudraj, mudhtharib, maqlub, dan lain sebagainya. Begitu pula dengan kritik matan, yang melaluinya akan diketahui hadis yang mahfuzh dan maâruf dengan yang tidak (mushahhaf, muharraf, syadz, muâallal, dan mudraj).[2]

Dengan demikian, jelas bahwa kritik hadis tidaklah cukup dengan sanad saja, tapi juga matan. Karena, seperti kata al-Damini (1983:52) dan Azami (1990:21), shahihnya suatu sanad hanya merupakan salah satu syarat keshahihan hadis. Dari sinilah kita mengenal hadis shahih (sanad dan matan) dan hadis shahih al-isnad (sanadnya saja).

Ilmu kritik hadis, walaupun baru belakangan menjadi disiplin ilmu tersendiri dalarn wilayah ilmu hadis yang memiliki cabang berjumlah 93, cikal bakal atau praktiknya sebenarnya telah tumbuh sejak masa Rasul. Umar bin Khattab umpamanya, ketika ia menerima kabar dari seseorang yang datang ke rumahnya, bahwa Rasulullah telah menceraikan istri-istrinya, langsung mengkonfirmasikan berita tersebut kepada Rasul. Rasul menjawabnya, tidak. Umar akhirnya mengetahui bahwa Rasul hanya bersumpah untuk tidak mengumpuli istri-istrinya selama sebulan (al-Bukhari, Tanpa tahun:70-71). Hal sama dilakukan Diman bin Tsaâlabah. Katanya, Wahai Muhammad, utusanmu telah datang kepadaku dengan membawa berita...Sabda Nabi, telah bicara benar,(Azami, 1995:71).

Ketika Nabi telah wafat, kegiatan konfirmatif semacam diatas tentu tak lagi bisa dilakukan para sahabat. Sebab itu, selanjutnya untuk menjaga otentisitas materi hadis, mereka menanyakan kepada orang lain yang ikut hadir mendengar atau menyaksikan hadis itu terjadi (dikatakan atau dilakukan Nabi). Abu Bakar, misalnya, ketika mendengar Mughirah mengatakan bahwa rasul memberi seorang nenek 1/6 bagian warisan, bertanya, Adakah orang lain yang dapat membuktikan pernyataan Anda?Lalu Muhammad bin Maslamah mengatakan sebagaimana yang diceritakan Mughirah[3] (Azami, 1995:78- 79).

Pada masa sahabat ini bahkan telah dilakukan upaya meneliti materi hadis dengan cara mencocokkannya kembali dengan apa yang pernah didengar sendiri dari Nabi, kemudian membandingkannya dengan al-Quran. Misalnya, Aisyah ra. Ketika dirinya diberitahu bahwa kata Umar, Nabi pernah bersabda, Mayat akan disiksa karena ditangisi keluarganya, ia menolak dengan berkata, Nabi hanyalah bersabda, Sesungguhnya Allah akan menambah siksa mayat orang kafir yang ditangisi keluarganya. Cukuplah bagi kalian ayat, Seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain (QS. 6: 164),[4] (Yaqub, 1996:3).

Adapun kritik sanad, baru mulai berkembang sejak terjadinya awal-fitnah al-kubra (terbunuhnya Utsman), yang ditandai dengan lahirnya fanatisme kelompok politik[5], juga kemudian aliran keagamaan yang mengakibatkan tersebarnya hadis palsu dalam rangka menjustifikasi kelompoknya. Dari kenyataan itulah, kritik matan tak lagi memadai, tapi harus pula disertai dengan meneliti identitas perawi hadis. Para ulama ilmu hadis semenjak itu membuat persyaratan yang sangat ketat untuk rawi-rawi yang bisa diterima hadisnya. Pada masa (tabiin) ini, mazhab kritik hadis regional pun bahkan telah lahir, seperti mazhab Madinah dan Irak. Para kritikus (ulama) hadis zaman ini, sebagai periode pertumbuhan, adalah Saâid bin Musayyab (W. 93 H), Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar (w: 106 H), Ali bin Husein bin Ali (W. 93 H), dan lain-lain. Sesudah mereka, muncullah di Madinah orang-orang semacam al-Zuhri, Yahya bin Said, dan Hisyam bin Urwah. Di Irak juga muncul Said bin Zubair, al-Syaâbi, Thawus, Hasan al-Bashri (W. 110 H), dan Ibn Sirin (W. 110 H). Dari mereka lahir kritikus-kritikus hadis kesohor, seperti Syuâbah (83-100 H), Yahya bin Saâid (W. 192 H), dan Ibn Mahdi (W. 198 H).

Pada masa tabiâin inilah, setidaknya ada tiga bentuk upaya yang mereka lakukan dalam menjaga otentisitas hadis yang perlu kita sebut. Pertama, dilakukannya kodifikasi hadis oleh al-Zuhri atas perintah Umar bin Abd al-Aziz. Kedua, lahirnya ilmu kritik hadis dalam arti sesungguhnya. Ini berdasarkan pendapat Ibn Rajab yang mengatakan bahwa Ibn Sirin, karena keluasan ilmunya, merupakan pelopor dalam kritik rawi. Ketiga, diawali oleh beberapa orang sahabat, semisal Jabir, pada periode ini terdapat semangat pelacakan hadis yang sungguh luar biasa. Untuk meneliti satu hadis saja, mereka sampai pergi ke luar daerahnya.

Namun demikian, dalam goal pelacakan hadis tersebut, masa atbaâ al-tabiin (periode ketiga sebagai periode penyempurnaan/masa keemasan) merupakan masa yang lebih berkembang. Ibn Main (W. 233 H), misalnya mengatakan, Ada empat jenis orang yang tidak dewasa. Di antaranya adalah orang yang menulis hadis di kotanya sendiri dan tidak pernah mengadakan perjalanan untuk maksud tersebut. Maka sejak itu, dimulailah era mempelajari hadis dari beberapa, bahkan konon mencapai ratusan ribu, syekh di seluruh dunia Islam. Akibatnya kritik (penyaringan) hadis pun tak lagi terbatas pada ulama setempat, melainkan di selurnh tempat. Dalam melakukan kritik rawi, mereka merasa lebih baik ditakuti atau dibenci orang yang kritik dari pada disesali Nabi di akhirat nanti.

Kritikus-kritikus masa ini antara lain, Ahmad bin Hanbal dari Bagdad (W. 233 H), Yahya bin Main dari Bagdad (W. 233 H), dan Ali bin al-Madini dari Basrah (W. 234 H). Mereka itulah yang melahirkan generasi ahli hadis berikutnya yang terkenal sampai sekarang, semisal al-Dzuhali (W. 258 H), al-Darimi (W. 255H), al- Bukhari (W. 256 H), dan Muslim bin al-Hajjaj (W. 261 H). Mereka semua berasat dari Khurasan dan sekitarnya.

Sejak masa itu, dibukukanlah ilmu-ilmu hadis. Umpama, Ibn Main menulis Tarikh al-Rijal, Ibn Hanbal menulis al-Illah wa Marifah al-Rijal, Ibn Ali Hatim al-Razi (W. 327 H) menulis al-Jarh wa al-Tadil (evaluasi negatif dan positif) terdiri dari 9 jilid, dan lebih dari itu al- Rumahurruzi (W. 360 H) menulis ilmu hadis secara komprehensif dengan judul al-Muhaddits al-Fashil baina al-Rawi wa al-Waie (ahli hadis pemisah antara periwayat dan penampung) (Azami, 1995:71- 75, 1990:5-17, dan Yaqub, 1996:1-5).

Penyempurnaan ilmu hadis terus dilakukan sampai abad ke-10 H. Dari periode ini (antara abad ke-6 sampai ke-10 H), lahirlah al-Hakim al-Naisapuri (W. 405H), al-Khatib al-Baghdadi (W 464 H), Ibn Shalah (W 643 H), al-Nawawi (W 676 H), al-Dzahabi (W. 748 H), Ibn Hajar al-Asqalani (W. 858 H), dan al-Sakhawi (W. 908 H) (al-Jawabi, 1986:144-172).

Selanjutnya, dari abad ke-10 hingga ke-14 H, seiring dengan melemahnya perkembangan ilmu hadis, ilmu kritik hadis pun mengalami kebekuan (âItr, 1981:63-70). Kegiatan kritik mulai menampakkan gairahnya kembali pada masa belakangan (abad ke-14 sampai sekarang), terutama sejak munculnya tantangan dari kalangan orientalis seperti Goldziher (1850-1921 M) dan Joseph Schacht (1902-1969 M) dengan teori projecting back-nya (memproyeksikan pendapat-pendapat kepada tokoh-tokoh di belakang). Di antara empat orang ahli hadis yang reputasinya diakui dunia Islam saat ini (Nashir al-Din al-Albani, Mushtafa Azami, Nuruddin âItr, dan Mushtafa Sibai), sosok Azami lah yang semangatnya paling kentara untuk meruntuhkan teori hadis orientalis.

Sanggahan yang dikemukakan Azami sebagai berikut:
Pertama, untuk membantah Schacht yang meyakini tak satu pun hadis yang otentik berasal dari Nabi, Azami menggunakan hasil penelitian naskah yang ia lakukan. Menurutnya, tidak benar jika dikatakan bahwa hadis ditulis pada masa al-Zuhri. Pengertian tadwin bukanlah menulis, tetapi menghimpun tulisan. Penulisan hadis dimulai sejak masa Nabi dan sahabat. Tak kurang dari 52 sahabat memiliki naskah catatan hadis. Demikian pula, tak kurang dari 247 tabiâin memiliki hal serupa. Generasi pertama mengajarkan pada generasi kedua, dan begitu seterusnya. Dari hasil penelitian naskahnya juga diperoleh data bahwa pada periode ketiga (atbaâal- tabiâin), jumlah perawi satu hadis saja sudah berkisar antara 20-30 orang murid dari generasi kedua, yang tersebar di berbagai tempat yang berjauhan. Jadi, jika redaksinya sama, tentu tak mungkin ada kebohongan.

Kedua, Azami menggunakan analisis sejarah dalam membantah Goldziher yang meragukan otentisitas hadis lewat penelitiannya terhadap hadis yang isinya bahwa tak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga mesjid (al-Haram, al-Nabawi, dan al-Aqsha). Menurutnya, hadis tersebut palsu. Al-Zuhri menulis hadis itu lantaran diperintah Abd al-Malik bin Marwan. Tujuannya agar orang-orang Syam tidak pergi ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji, tapi cukup ke Mesjid al-Aqsha yang di dalamnya telah dibuatkan Qutub al-Sakhra oleh Abd al-Malik sebagai pengganti Kabah. Jika orang-orang Syam pergi ke Mekah, Abd al-Malik khawatir akan dimanfaatkan oleh Zubair untuk membaiatnya. Dengan data-data sejarah, Azami membantah pendapat Goldzier ini dengan mengatakan bahwa saat dibuatkan Qutub al-Sakhra (setelah tahun 68 H), al-Zuhri saat itu barn bernsia kira-kira 10-18 tahun. Dalam usia demikian, tak mungkin dirinya sudah terkenal. Sebab itu, hal tersebut mustahil terjadi (Azami, 1980:225-300 dan Yaqub, 1996:34-35).

Metodologi Kritik Hadis
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bahwa obyek kritik hadis adalah sanad dan matan yang operasionalisasinya berdasarkan kriteria hadis shahih. Namun demikian, dalam menentukan keshahihan sanad, terdapat sedikit perbedaan pendapat di kalangan para ulama hadis. Imam Bukhari dan Muslim, misalnya, kendati ada kesepakatan dalam kriteria umum (mayor) suatu hadis, tapi dalam kriteria minor terjadi perbedaan. Mereka sepakat bahwa suatu hadis dikatakan shahih bila: (1) Rangkaian periwayat dalam sanad bersambung mulai dari periwayat pertama sampai terakhir; (2) Periwayat dalam sanad hadis tersebut haruslah orang-orang yang dikenal tsiqqat dalam arti adil dan dhabit; (3) Hadis itu terhindar dari cacat (illat) dan kejanggalan (syudzudz); dan (4) Para periwayat yang terdekat dalam sanad harus hidup dalam satu zaman[6]. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat dalam point ke-4. Menurut al-Bukhari, bukan saja kesamaan hidup dalam satu zaman, tapi mereka harus pernah bertemu kendati cuma satu kali. Itu merupakan salah satu persyaratan ketat yang menyangkut dengan faktor zaman (Ismail, 1995: 122-123).

A. Metodologi Kritik Sanad
Berdasarkan kriteria diatas, para ahli hadis menentukan unsur-unsur kaidah mayor dari keshahihan sanad, yaitu, sanadnya harus bersambung, seluruh periwayat yang berada dalam sanad harus bersifat adil dan dhabit, serta sanad mesti terhindar dari syudzudz dan illat.

Untuk mengetahui bersambung tidaknya suatu sanad, biasanya para ulama menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:

1. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.
2. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat.
3. Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata- kata yang dipakai haddatsani, haddatsana, akhbarana, an, atau kata lainnya.

Sedangkan ukuran untuk menentukan keadilan rawi menurut penelitian Syuhudi Ismail (1995:130) yang dikumpulkan dari berbagai pendapat ahli hadis, terdapat 15 ukuran. Paling banyak dari Nuruddin âItr (7 ukuran), sedangkan paling sedikit dari al-Hakim al-Naisabury, yaitu 3 hal; beragama Islam, tidak berbuat bidâah, dan tidak berbuat maksiat. Dari semua itu, Ismail kemudian menyimpulkan bahwa paling tidak, untuk menilai keadilan rawi harus berdasarkan pada; rawi yang diteliti beragama Islam. mukallaf, melaksanakan ketentuan agama, dan memelihara muruah. Untuk menetapkan itu, bisa bersandar pada popularitas si periwayat di kalangan ulama hadis, penilaian dari para kritikus rawi hadis, dan penerapan kaidah-kaidah al-jarh wa al-taâdil untuk periwayat yang tidak disepakati keadilannya.

Adapun sanad untuk tingkat sahabat, menurut kesepakatan (jumhur), antara lain Ibn Abd al-bar (w. 463 H), al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H), dan Ibn Shalah (w. 643 H), keadilannya tak perlu lagi diragukan atau diteliti. Ini, salah satunya, didasarkan pada rekomendasi al-Quran (QS. 2:143 dan 3:110), hadis Nabi, dan fakta pengorbanan, keimanan, serta pendirian mereka yang kuat dalam membela Islam (Yaqub, 1996:113-114).

Mengenai kata dhabit, ukuran untuk menentukannya adalah memahami dengan baik, hapal, dan mampu menyampaikan riwayat yang diterimanya kapan saja. Cara penelitiannya, dengan berdasarkan kesaksian ulama, kesesuaian riwaayatnya dengan yang disampaikan orang lain, dan sekalipun pernah mengalami kekeliruan, asalkan jarang terjadi.

Selain tiga hal tersebut, suatu hadis baru bisa dikatakan shahih secara sanad, sebagaimana yang telah juga disinggung, bila terhindar dari syudzudz dan illat. Berkenaan dengan maksud syudzudz, para ulama, ahli hadis memiliki pendapat yang berbeda. Menurut al-Syafii, suatu hadis dikatakan syudzudz jika diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqqat, tapi bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan banyak periwayat tsiqqat lainnya. Sedangkan dalam pandangan al-Hakim, hadis syadz adalah hadis yang diriwayatkan seorang rawi yang tsiqqati, tapi tak ada rawi tsiqqat lain yang meriwayatkan. Dalam menyikapi perbedaan pendapat ini, para ulama ahli hadis lebih banyak memilih kriteria yang diajukan al-Syafii ketimbang al-Hakim. Misalnya, al-Nawawi dan Ibn Shalah.

Contoh sanad yang syadz tersebut adalah hadis yang berbunyi, “Seorang laki-laki telah meninggal dunia dengan tidak meninggalkan seorang pun ahli waris kecuali seorang yang telah memerdekakannya.Hadis ini memiliki empat macam sanad. Tiga sanad menyebutkan Ausajah dan Ibn Abbas sebelum matan, sementara satu sanad (jalur transmisi) tidak menyebut Ibn Abbas, tapi hanya Ausajah yang notabene tidak disepakati sebagai sahabat Nabi.

Kesyadzan suatu hadis, semisal hadis di atas, baru bisa diketahui setelah diadakan perbandingan sanad, sembari dilakukan pula penelitian terhadap kualitas masing-masing sanad.

Begitu pula jika pada banyak riwayat matannya dalam bentuk fiâli (perbuatan Nabi), sedangkan pada satu riwayat lain dalam bentuk qauli (ucapan Nabi), maka sanad yang menyebut matan dengan cara qauli disebut syadz.

Adapun yang dimaksud illat ialah sebab tersembunyi yang merusak kualitas sanad, sesuatu yang sulit kecuali bagi mereka yang memiliki tingkat kedhabitan tertentu. Cara kerjanya adalah dengan menghimpun dan meneliti sanad berdasarkan pendapat para kritikus rawi dan illat hadis. Illat hadis tersebut, sebagaimana syudzudz, bisa terjadi pada matan, sanad, atau keduanya sekaligus.

Contoh illat bisa dilihat pada penilaian al-Hakim berdasarkan penelitian al-Bukhari pada hadis yang dalam sanadnya terdapat Musa bin Uqbah yang menerima hadis dari Suhail. Dalam penilaiannya, hadis ini terputus sanadnya, karena tidak menyebut Musa bin Ismail sebagai penerima hadis yang sesungguhnya dari Suhail (Ismail, 1995:119-153 dan Itr, 1994:123-261).

B. Metodologi kritik Matan
Sebagaimana halnya sanad, metodologi kritik matan bersandar pada kriteria hadis yang diterima (maqbul, yakni yang shahih dan hasan), yaitu matannya tidak janggal (syadz) dan tak memiliki cacat (illat) (al-Idlibi, 1983:32-34). Untuk itu. metodologi yang dikembangkan untuk kritik matan ini adalah metode perbandingan (perujukan silang) dan dengan menggunakan pendekatan rasional (Azami, 1995:75-78). Metode tersebut, terutama perbandingan, telah berkembang sejak masa sahabat. Dalam menentukan otentisitas hadis, mereka melakukan studi perbandingan dengan al-Quran. sebagai sumber yang lebih tinggi, perbandingan dengan hadis lain yang mahfuzh, juga dengan kenyataan sejarah (al-Jawabi. 1986:459-460). Bila terjadi pertentangan, maka hadis yang bersangkutan dicoba untuk ditakwilm di-taqyid, atau di-takhsish, sesuai sifat dan tingkat pertentangannya, sehingga dikompromikan satu dengan yang lain. Tapi, jika tetap tidak bisa. maka dilakukanlah tarjih dengan mengamalkan yang lebih kuat.

Mengenai perbandingan matan dengan al-Quran, bisa dicontohkan, seperti penolakan Aisyah terhadap hadis yang diriwayatkan Umar seperti yang telah diterangkan, juga penolakannya terhadap hadis riwayat Ibn Abbas bahwa Nabi telah melihat Tuhannya (dengan mengajukan QS. 6:103 (Adam. 1988:135). Atau, penolakannya terhadap hadis Abu Hurairah mengenai tidak masuk surganya anak zina (dengan ajuan QS. 6:164. atau QS. 35:18). Hal sama dilakukan Umar ketika menolak hadis keharusan bagi laki-laki yang telah mencerai tiga kali istrinya. untuk memberinya nafkah dan rumah (dengan QS. Attalaq ayat 1) (al-Jawabi, 1986:469-470).

Sedangkan contoh perbandingan suatu hadis dengan hadis mahfuzh adalah penolakan Aisyah dan Ummu Salamah terhadap hadis Abu Hurairah tentang batalnya puasa bagi seseorang yang bertemu fajar ketika masih dalam keadaan junub (al-Jawabi, 1986:473-474). Metode ini kemudian dikembangkan Aisyah dengan membandingkan pernyataan hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Umar mengenai pengetahuan dan pencabutannya dari bumiâ pada tahun yang berbeda.

Metode perbandingan tersebut lantas dikembangkan oleh ulama ahli hadis masa tabi’in dan generasi sesudahnya. Mereka mempraktekkannya dengan beberapa cara, yakni:

- Perbandingan hadis-hadis dari berbagai murid seorang ulama.
Cara ini dipraktekkan Ibn Main (W. 235 H) dalam meneliti kesalahan Hammad bin Salamah juga murid-muridnya. Jika murid-murid Hammad, jelasnya, melakukan kesalahan secara serempak, maka sumber kesalahannya terletak pada diri Hammad. Jika hanya ada satu saja, maka kesalahannya ada pada muridnya tersebut.[7]

- Perbandingan pengucapan lisan dengan dokumen tertulis.
Cara tersebut dibenarkan Bukhari. Katanya, Bila seseorang menyampaikan suatu hadis, lalu setelah dicek dalam kitab ternyata berbeda, maka versi dalam kitab (mesti) diterima sebagai yang benar. Hal tersebut antara lain dipraktekkan Abu Zahrah ketika menetapkan yang benar diantara dua orang muridnya yang berdebat, yaitu Fadhl bin Abbas yang menolak hadis riwayat sejawatnya, Muhammad bin Muslim (Azami, 1995:76-81).

Tentang perbandingan matan hadis dengan kenyataan sejarah, contohnya ialah penolakan terhadap hadis Muslim yang menyebutkan bahwa peristiwa Isra Miâraj terjadi sebelum Nabi menerima wahyu (Muslim, 1983:217). Hadis tersebut dinilai benentangan dengan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa Nabi mengalami Isra Miâraj pada tahun ke-10 kenabian, yang disebut dengan tahun kesedihan. Contoh lain, diantaranya, penolakan Aisyah terhadap hadis Abdullah bin Umar perihal Nabi pernah umrahpadabulan Rajab (al-Jawabi, 1986:478-479). Atau, penolakan terhadap hadis bahwa kapal Nabi Nuh thawaf keliling Kaâbah tujuh kali, padahal Kabah saat itu belum dibangun.

Kecuali metodologi perbandingan diatas, kritikus hadis bisa menggunakan pendekatan rasional[8] pada matan yang isinya bertentangan dengan akal dan dianggap tak layak sebagai pernyataan Nabi. Ini, menurut Muâallimi al-Yamani, selain diterapkan dalam mempelajari dan mengajarkan hadis, serta menilai periwayat, juga digunakan dalam menilai otentisitas matan hadis (Azami, 1995:83). Pendekatan jenis ini diterapkan pada teks hadis yang mempunyai ungkapan kata dan kandungan yang lemah atau rendah. Misalnya, hadis tentang nilai ibadah dalam melihat wajah yang bagus. Demikian pula dengan hadis-hadis yang berisi tentang perkara yang mustahil. Misalnya, hadis yang menerangkan bahwa ketika Nabi Daud tertarik pada seorang perempuan cantik bemama Quriya, ia menyerahkan istrinya untuk dibunuh supaya dapat mengawini perempuan tersebut. Hadis lain yang sama dengan hadis itu adalah hadis yang menerangkan bahwa ada sembilan malaikat yang diserahi tugas untuk melempari matahari setiap hari dengan es agar tidak membakar (al-Damini, 1984:196, 223, 226, 227).

Bahkan, al-Damini (1984, 207-218) dan al-Sibaâi (1960:96) menambahkan metodologi kritik matan ini dengan penolakan terhadap hadis yang bertentangan dengan kaidah-kaidah atau pokok- pokok ajaran Islam. Misalnya, hadis yang menerangkan bahwa Shalat Dhuha empat rakaat pada hari Jumat dengan membaca alhamdulillahirabbilalamin dan surat al-Nas sebanyak 10 kali setiap rakaatnya, diberi pahala sebagaimana pahala Nabi Ibrahim, Musa, Yahya, dan Isa. Hadis tersebut, hemat al-Damini, bertentangan dengan kaidah pertengahan dalam Islam dan hadis Muslim, Pahalamu sesuai dengan amalmu.

Penutup
Berdasarkan paparan di atas, paling tidak ada tiga hal yang bisa kita catat. Pertama, sebagai cabang dari disiplin ilmu hadis, secara kejelasan metodologi, kritik hadis merupakan cabang yang cukup mapan. Kedua, ketatnya penyeleksian/penelitian dalam menentukan hadis shahih, menunjukkan betapa otentisitas hadis sangat bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Karena itu, tak ada alasan untuk meragukannya. Ketiga, melihat pada sejarah terbentuknya, maka disiplin ilmu hadis, termasuk di dalamnya kritik hadis terutama sistem sanadnya, bisa dikatakan sebagai disiplin ilmu yang khas dimiliki umat Islam, dan genuine Islam. (Sukron Kamil)

Referensi:
* Adam, Muchtar, 1988, Ijtihad: Antara Teks dan Konteks, dalam Jalaluddin Rahmat (ed.), 1988, Ijtihad dalam Sorotan, Mizan, Bandung.
* Azami, Muhammad Musthafa, 1980, Dirasat fi al-Hadits al-Nabawi wa Tarikh al-Tadwin, al-Maktab al-Islami, Beirut.
* , 1990, Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muhadditsin: Nasyâatuhu wa Tarikhuhu, cet. III, Makatabah al-Kautsar, Riyadh.
* , 1995, Memahami Ilmu Hadis: Telaah Metodologi dan Literatur Hadis, cet. II, terj. Meth Kiereha, dari Studies in Hadith Methodology and Literature, Penerbit Lentera, Jakarta.
* Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail, Tanpa Tahun, Shahih al- Bukhari, Sulaiman Marâi, Singapura.
* Al-Damini, Misfar Azmullah, 1983, Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah, cet. I, Riyadh.
* Al-Idlibi, Shalahuddin bin Ahmad, 1983, Manhaj Naqd al-Matn Inda Ulama al-Hadits al-Nabawi, cet. I, Dar al-Maq al-Jadidah, Beirut.
* Ismail, Syuhudi, 1995, Kaedah Keshahihan sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, cet. II, Bulan Bintang, Jakarta.
*Itr, Nuruddin, 1994, Ulum al-Hadits, terj. Mujiyo dari Manhaj al- Naqd Fi Ulum al-Hadits, 1981, Remaja Rosdakarya, Bandung.
* Al-Jawabi, Muhammad Thahir, 1986, Juhud al-Muhadditsin Fi Naqd al-Matn al-Hadis al-Nabawi al-Syarif, Muassasah Abd Karim Ibn Abdillah, Tunis.
* Al-Khatib, Muhammad Ajaj, 1991, al-Mukhtasharwa al-Wajiz fi Ulum al-hadits, cet. V, Muassasah Risalah, Beirut.
* Munawwir, Ahmad Warson, 1984, Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia, PP Krapyak, Yogya.
* Muslim bin al-Hajjaj, 1983, Shahih al-Muslim (bi Syarh al-Nawawi), cet. II, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, Beirut.
* Semi, Atar, 1989, Kritik Sastra, Angkasa, Bandung.
* Shalah, Ibn, 1989, Muqaddimah Ibn Shalah Fi Ulum al-Hadits, Dar al-Kutub al-llmiyah, Beirut.
* Al-Sibaâi, Musthafa, 1960, Al-sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyriâ al-Islami, Dar al-Qaumiyah, Kairo.
* Yaqub, Ali Mustafa, 1996a, Imam Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis, cet. III, Pustaka Firdaus, Jakarta.
* , 1996b, Kritik Hadis, cet.II, Pustaka Firdaus, Jakarta.
* Wehr, Hans, 1971, A Dictionary of Modern Written Arabic, George Allen & Unwa Ltd., London.
* Zahu, Muhammad Abu, 1984, Al-Hadits wa al-Muhadditsun, Dar al- Kitab al- Arabi, Beirut.

1. Sebab itulah Imam Muslim (204-261) menamakan buku kritik hadisnya dengan Kitab al-Tamyiz (Buku Pembedaan/Penyeleksian Hadis).
2. Untuk mengetahui istilah-istilah ini, lihat Nuruddin âItr, Ulum al-Hadits, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1994, hal. 50-261 (Terjemahan Mujiyo dari, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits, 1981).
3. Praktik ini, kecuali bertujuan untuk meyakinkan bahwa berita materi hadis yang disampaikan, benar- benar dari Nabi, nampaknya terdapat hubungan dengan apa yang dikatakan al-Ouran (OS. 3:179),...membedakan/memilih yang baik dengan yang buruk.
4. Dan adanya dua hadis yang memiliki perbedaan seperti itulah yang kemudian memicu lahimya ilmu mukhtalaf al-hadits.
5. Ali bin Abi Thalib sebagai sahabat Nabi tentu tidak ikut serta, tapi pengikutnyalah yang mengikuti pepatah Inggris Lebih Katolik (dalam konteks ini Islam, red.) dari pausnya (dalam Islam, Imamnya, red.) sendiri.
6. Menurut Imam Nawawi, syarat no. 3 terdapat dalam matan dan sanad, sedangkan no. 1, 2, dan 4 hanya berkenaan dengan sanad saja.
7. Metode ini, dan juga sebelumnya (perbandingan pernyataan seorang perawi pada berbagai waktu) bukan saja bisa digunakan dalam kritik matan, juga dalam kritik terhadap kedhabitan rawi.
8. Beberapa ahli, seperti Ahmad Amin, bahkan mengembangkannya dengan ukuran-ukuran sains dalam menetapkan keshahihan dari matan. Beberapa contohnya, penolakan terhadap hadis Bukhari tentang lalat masuk minuman, demam berasal dari neraka, dan perkembangan embrio. Dalam hal ini, para ulama terbagi dalam tiga kubu penyikapan: Ekstrem menolak, ekstrem menerima, dan yang moderat (Iihat Yaqub, 1996a:36-41).

Sumber:
www.sadeqin.net
  • Print

    Send to a friend

    Comment (0)