• Black
  • perak
  • Green
  • Blue
  • merah
  • Orange
  • Violet
  • Golden
  • Nombre de visites :
  • 66
  • 25/2/2018-14:55
  • Date :
Tentang Agama

Universal; Keistimewaan Risalah Islam

Universal, Final, dan Abadi adalah beberapa karakteristik risalah Islam yang paling menonjol. Universal berarti pesan keagamaan tidak dikhususkan kepada kelompok tertentu atau untuk zaman dan waktu tertentu. Kata tersebut mencerminkan fase kesempurnaan perjalanan risalah Allah.

universal; keistimewaan risalah islam
Universalitas Islam berbeda dengan universalitas agama-agama Allah lainnya karena bertransformasi ke tahap aplikasi praktis. Ia memberikan jaminan yang diperlukan untuk kelanjutan proyek peradaban Islam dan memperluas ruang lingkup wacana agar meliputi seluruh manusia. Namun universalitas sendiri menghadapi beberapa kendala, semisal motif nasionalisme, tirani entitas politik, diskriminasi kasta, dan fraksinasi. Mazhab Ahlul Bait a.s merupakan pelopor dalam memerangi dan menghilangkan kendala-kendala tersebut dari masyarakat.

Final bukan berarti hanya wahyu terhenti, tapi juga mencerminkan evolusi kehidupan manusia dan substansi risalah. Sementara itu, abadi berarti berkelanjutan, lestari, dan turun-temurun. Kita bisa menemukan tanda-tandanya dalam unsur dan basis sandaran risalah Islam, antara lain logis, seimbang antara yang mapan dan yang berubah, nilai hakiki ilmu pengetahuan, dan formasi umat yang moderat.

(Baca Juga: Kembalikan Peran Agama)

Pendahuluan
Allah Swt berfirman,

“Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai manusia! Sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi kamu semua, Yang memiliki kerajaan langit dan bumi; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, (yaitu) Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya). Ikutilah dia, agar kamu mendapat petunjuk.’”[1]

“Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”[2]

“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (al-Qur’an) dan agama yang benar untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.”[3]

Universal, Final, dan Abadi adalah tiga karakteristik yang dianggap sebagai karakteristik dan spesifikasi risalah Islam paling menonjol dan membedakannya dari risalah Allah lainnya. Meskipun karakteristik tersebut saling terkait dan tumpang tindih dalam muatannya, tapi pada saat yang sama ada perbedaan di antara ketiganya. Perbedaan itu layak diketahui untuk mengenali horizon peradabannya, terutama di zaman sekarang.

Dalam tulisan singkat ini, saya akan mencoba menguak karakteristik tersebut, bukan hanya untuk membuktikan keistimewaannya bagi risalah Islam, karena keberadaannya hampir sudah menjadi aksioma akidah Islam. Ayat-ayat yang mulia di atas sudah cukup sebagai dalilnya. Akan tetapi saya juga akan menyentuh secara singkat muatan karakteristik tersebut dari satu sisi dan beberapa masalah riil yang dihadapinya serta penanganan Islam atas maslah tersebut dari sisi lain, untuk mendapatkan beberapa pelajaran bagi kebangkitan Islam kontemporer, dan menafikan beberapa kebutuhan yang menjadi tuntutan aspirasi manusia terhadap kebudayaan Islam sebagai penyelamat dari bencana dan penderitaan.

Universal
Sedari awal sudah dapat ditangkap bahwa universalitas Islam dari sisi realitas berarti bahwa pesan akidah, sosial, dan politik sebuah risalah tidak dikhususkan kepada kelompok orang tertentu tanpa yang lain, bukan pula untuk satu area tanpa area yang lain. Itulah yang diembankan oleh akidah ilahi dan syariat Islam sebagaimana disampaikan oleh al-Qur’an yang mulia dan Nabi Saw yang agung. Akan tetapi pertanyaannya, apakah karakteristik itu khusus bagi risalah Islam? Bisakah kita katakan bahwa risalah para rasul lainnya yang bergelar Ulul Azmi, semisal Nuh a.s, Ibramih a.s, Musa a.s, dan Isa a.s dikhususkan bagi sebuah kelompok, tanpa yang lain?

Kita tahu bahwa Islam merupakan kelanjutan alami risalah Allah yang berfungsi untuk meratifikasi dan menjaganya. Keyakinan mendasar dalam Islam adalah iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab suci, dan para rasul-Nya. Kita tidak membedakan seorang pun di antara para rasul Allah. “Rasul (Muhammad) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an) dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata), “Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.” dan Mereka berkata, “Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami ya Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali.”[4]

Ayat di atas menunjukkan bahwa universalitas bukan kekhasan Islam semata. Banyak sekali bukti yang menunjukkan fakta ini dan keturutsertaan risalah-risalah yang lain dalam karakter universalitas. Kita bisa menemukannya dalam al-Qur’an sendiri. Oleh karena itu, penting bagi kita melihat universalitas dalam Islam dari satu sudut pandang dan dimensi lain di samping dimensi yang benar dalam muatan dan kandungannya. Dimensi lain tersebut adalah bahwa universalitas mencerminkan fase kesempurnaan teoritis dan praktis dalam perjalanan risalah Allah. Fase tersebut merupakan tujuan akhir bagi perjalanan risalah Allah. Risalah Allah sendiri telah mewartakan fase kesempurnaan tersebut berada di penghujung perjalanannya. “(yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an). Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” [5]

Dalam konteks ayat ini terdapat seruan kepada seluruh manusia, sebagaimana pada ayat sebelumnya yang menjadi pembuka tulisan ini dan ayat-ayat lainnya. Seruan dalam ayat-ayat tersebut, sebagai keyakinan tauhid kepada Allah Swt, telah dan akan senantiasa merupakan fakta yang mengukuhkan muatan dan tujuan risalah-risalah Allah. Akan tetapi dalam perjalanan manusia menuju kesempurnaan, dalam setiap fasenya, tauhid menghadapi masalah deteriorasi manusia pada level keyakinan, semisal penyembahan berhala dengan berbagai bentuknya, sebagaimana yang terjadi sepeninggal Nuh a.s, Ibrahim a.s, Musa a.s dan Isa a.s. Kita juga melihat hal yang kurang lebih sama saat ini dalam bentuk penyembahan terhadap hawa nafsu, syahwat, kekuatan, dan lain sebagainya. Itu di satu sisi. Di sisi lain, pada tahap sebelumnya, tauhid tidak menjangkau semua aspek kehidupan manusia dalam formulasi aplikasi dan hukumnya, namun terbatas pada ibadah dan beberapa kegiatan sosial. Sementara itu, tauhid dalam risalah Islam merupakan pendekatan yang mencakup semua aspek kehidupan manusia melalui syariat Islam yang sempurna.

Dengan demikian, universalitas dengan muatan Islamnya yang khas mencerminkan fase sejarah baru yang menghantarkan perjalanan risalah Allah kepada perwujudan universalitas secara teoritis dan praktis. Perjalanannya berkembang, disertai metode dan rincian hukum yang memenuhi tuntutan fase ini dan merealisasikan tujuan-tujuannya.

Ambil contoh risalah Musa a.s. Meskipun kandungannya bersifat universal, pesannya berlaku umum dan tidak dikhususkan kepada Bani Israil, tapi dari aspek praktis sejarah, risalah Musa a.s tetap terbatas pada Bani Israil, bahkan selanjutnya beralih menjadi risalah kebangsaan. Sistem hukumnya pada awalnya meliputi kelompok Bani Israil. Namun setelah ada penyimpangan, terjadilah pergeseran dari Bani Israil kepada “bangsa yang terpilih” yang menganggap memiliki hak istimewa. Mereka menganggap diri mereka sebagai wali dan kekasih Allah dan surga itu dikhususkan untuk mereka di sisi Allah, bukan untuk orang lain. Mereka mengira tidak berdosa apa pun kepada orang-orang ummi (orang-orang di luar mereka), memiliki sesuatu, dan anggapan-anggapan lainnya seperti yang diceritakan oleh al-Qur’an.

Di sini kita melihat—sambil membandingkan—perkembangan universalitas yang ada pada risalah Islam pada level umat yang dituju dalam pesannya. Dalam risalah Islam, “bangsa pilihan” seperti yang diyakini oleh orang-orang Israel diubah menjadi umat manusia yang bertanggung jawab dan terbaik. “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah....”[6] Umat ini sudah mencapai kedewasaannya karena itu diberi tugas mengemban amanah yang besar.

Tolok ukur dalam pilihan realistis ini adalah keimanan kepada Allah, menyerukan kebaikan, amar makruf nahi mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya, bukan didasarkan kepada kebangsaan, ras, keluarga, negara atau sejarah. Pilihan tersebut milik Allah dengan prinsip “Sesungguhnya orang yang paling mulia dari kalian di hadapan Allah adalah orang yang paling bertakwa.”

Oleh karena itu, al-Qur’an yang mulia menegaskan fakta dan tradisi sejarah umat yang bertanggung jawab dan mengemban amanah ini dalam perjalanan amal dan jihad. Al-Qur’an menyapa bangsa Arab sebagai kelompok beriman pada saat al-Qur’an diturunkan dengan firman Allah Swt, “Wahai orang-orang yang beriman! Barang siapa di antara kamu murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.”[7] “Dan jika kamu berpaling (dari jalan yang benar) Dia akan menggantikan (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tik akan (durhaka) seperti kamu.” [8] Pergeseran dan perubahan nyata dari bangsa tertentu yang terpilih kepada umat pada umumnya yang bertanggung jawab dan terbaik inilah yang dinamakan universalitas.

Contoh berikutnya adalah risalah Isa a.s. Meskipun dakwah dan muatannya bersifat universal, tapi Isa a.s diangkat oleh Allah dari dunia dan tidak ada pengganti yang mengemban risalah setelah kepergiannya dari kalangan orang-orang beriman yang bertanggung jawab, kecuali para murid setianya (Hawariyyin). Karena itu, risalahnya secara bertahap beralih menjadi risalah kaum elit pilihan. Pesannya menjadi pesan bagi kaum elit. Pada tahap pertama adalah kaum elit yang beriman dari kalangan Hawariyyin dan kaum elit ulama Yahudi yang menyimpang. Setelah itu, kaum elit yang direpresentasikan oleh Hawariyyin beralih kepada kelompok pendeta dan orang-orang yang mengisolasi diri, atau kelompok rahib dan pendeta yang menikmati hak istimewa dan hak khusus pekerjaan yang suci. “Mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka. (yang Kami wajibkan hanyalah) mencari keridaan Allah, tetapi tidak mereka pelihara dengan semestinya. Maka kepada orang-orang yang beriman di antara mereka, Kami berikan pahalanya, dan banyak di antara mereka yang fasik.” [9] “Mereka menjadikan orang-orang yang alim (Yahudi) dan rahib-rahibnya (Nasrani)sebagai tuhan selain Allah, dan (juga) al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan.” [10]

Dalam tafsir ayat di atas disebutkan—sebagaimana ditegaskan pula oleh al-Qur’an yang mulia—bahwa arti dari menjadikan orang-orang yang alim (Yahudi) dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah adalah mendengarkan dan menaati mereka selayaknya tuhan selain Allah dan memberi mereka hak istimewa dan harta.

Oleh karena itu, dapat kita katakan bahwa muatan khusus universalitas Islam yang menjadi karakteristiknya adalah sebagai berikut:

Pertama, transformasi risalah dari fase teoritis dan pengenalan universalitas ke fase aplikasi, penjelmaan, dan pembentukan program peradaban universal dalam kehidupan manusia.

Kedua, muatan kurikulum dan program universalitas yang komprehensif dan canggih. Muatan itu dibuat oleh Islam untuk mengawal dan mengukuhkan keberadaan program peradaban tersebut, serta menjadi jaminan praktis bagi kelangsungan dan kontinuitasnya.

Ketiga, perkembangan universalitas dalam realitas kehidupan manusia dari umat yang terbatas kepada umat yang global, luas, dan bertanggung jawab.

Dalam fitur program universalitas Islam kita menemukan cakrawala penelitian dan inspirasi yang luas—artikel pendek ini tentu tidak akan bisa menampungnya—yang mencerminkan pilihan Allah Swt:

1. Tempat misi dan risalah Allah adalah Makkah al-Mukaramah dan Madinah al-Munawarah;[11]

2. Model manusia yang menjadi target pertama pesan Allah adalah bangsa Arab;

3. Interpretasi wacana budaya Islam menggunakan pengantar bahasa Arab, bukan bahasa lain.

Bangsa Arab mempunyai banyak kekhasan dibanding bangsa lain. Situasi sosial, politik, budaya, dan sejarahnya menonjol dibanding umat lain sehingga sebagian orang jahiliah mengira bahwa semua itu merupakan keunggulan bangsa Arab atas manusia lain. Sebagian orang yang menyimpang menafsirkan wacana budaya Islam dengan tafsir kebangsaan, tafsir geografis, budaya, atau tafsir-tafsir lainnya.[12]

Jadi, di hadapan kita juga terbentang lahan penelitian pendekatan Islam tentang universalitas melalui kosakata negara, undang-undang sosial, peraturan, dan ibadah. Formulasi kosakata tersebut hadir sebagai dasar praktis bagi universalitas di satu sisi, dan untuk memastikan perbedaan Islam dari risalah Allah lainnya di sisi lain.

Sebagai contoh pada tingkat ibadah. Kita ambil tentang haji yang diserukan oleh Ibrahim a.s kepada manusia seperti yang dinyatakan al-Qur’an. Ibrahim adalah bapak moyang para nabi dan leluhur Bani Israil. Awalnya, haji terbatas bagi keturunan Ismail, tapi kemudian Islam berhasil keluar dari batasan dan meningkatkannya menjadi ibadah yang universal. Melalui formula yang realistis, universalitas menjelma keluar, bahkan formula tersebut menjadi jaminan yang realistis bagi universalitas sebagaimana yang kita saksikan dalam keseluruhan sejarah Islam dan realitas kontemporer.

Melalui program legislasi syariat dan program ibadah, Islam mampu memecahkan hambatan sosial dan psikologis antar bangsa, antar kelas, antara majikan dan budak, untuk menciptakan umat Islam yang bersatu dan universal. Islam menikmati atribut umat yang bersatu dalam perhatian, perasaan, emosi, tujuan, hubungan kemanusiaan, dan praktek ibadah.

Dalam bidang legislasi, kita mencatat tingkat hubungan manusia yang setara dalam hak dan kewajiban secara umum di antara seluruh umat Islam, kesamaan derajat (kufu) dalam pernikahan, persaudaraan dan loyalitas atas dasar iman. Islam mengatur pernikahan budak, menjadikannya sebagai gundik dan memerdekakannya karena melahirkan untuk menciptakan percampuran antar ras. Dalam bidang ibadah kita mencatat determinasi Islam untuk membaurkan dan menyamakannya di antara manusia, terutama dalam haji yang tidak mengenal sekat lingkungan, kelas, dan harta. Ibadah haji dikerjakan secara sama.

Itulah yang tidak kita temukan dalam risalah lain, bahkan dalam kebudayaan Barat yang berupaya keluar dari batasan ini dengan slogan hak asasi manusia dan kesamaan tujuan manusia dalam kehidupan dan kepentingan bersama, kendali ilmu eksperimental (sekuler) dan kesenangan dunia bagi kehidupan manusia. Kebudayaan Barat masih terjebak dalam budaya pembagian etnis, geografis, kaya dan miskin, serta utara dan selatan.

Orang kulit putih, seperti manusia pada umumnya, memandang orang kulit hitam dengan pandangan yang arogan. Mereka merasa istimewa dan mempunyai hak. Amerika Serikat—pemimpin dunia Barat dan pelopor peradaban Barat—dan Eropa Barat memperlakukan bangsa-bangsa lain di dunia dengan persepsi, perasaan, dan pembagian semacam itu. Bahkan orang-orang di Amerika Serikat sendiri—meskipun Amerika memiliki undang-undang yang berwibawa dan klaim universalitas kemanusiaan—mengeluhkan pembagian ras dan kelas yang didominasi oleh para pemilik modal.

Contoh lain kita temukan dalam fenomena negara yang asal-usulnya adalah fenomena kenabian, sebagaimana ditegaskan oleh al-Qur’an yang mulia. Al-Qur’an menegaskan bahwa misi para nabi adalah untuk memberi keputusan dengan benar, menata kehidupan manusia, dan memecahkan perbedaan di antara mereka, “Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka kitab yang mengandung kebenaran untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan...”[13]

Akan tetapi realitas sejarah risalah-risalah Allah tidak memperlihatkan berdirinya sebuah negara dalam naungan risalah itu sendiri. Para nabi hanya berupaya mendirikan masyarakat yang saleh dan negara Tuhan. Sebuah negara belum pernah terwujud, baik di zaman Nuh a.s, Ibrahim a.s, Musa a.s, maupun Isa a.s. Memang ada beberapa nabi yang diberi kerajaan, semisal Dawud a.s dan Sulaiman a.s, tapi itu merupakan bagian dari program umum manusia untuk mendirikan negara karena ketersediaan spesifikasi umum, yaitu kelebihan dalam ilmu, fisik, dominasi, dan kekuatan.[14]

Sementara itu, keberadaan negara dalam Islam merupakan bagian dari program misi kenabian dan perkembangan risalah Allah. Karena itu, Negara Islam dan imâmah menjadi bagian integral bagi risalah Rasulullah Saw, bukan hanya pada tingkat teoritis, tapi juga pada tingkat aplikasi. Inilah yang dijelaskan oleh berdirinya negara Islam pada tahun pertama Hijriah, kemudian dilanjutkan dengan fenomena sejarah yang tidak tertandingi dalam sejarah risalah Allah dan eksistensi manusia. Negara kemudian dilestarikan sebagai tujuan umat Islam. Umat Islam tidak menghapusnya meski eksistensi politiknya telah dijatuhkan oleh tangan-tangan arogan Barat melalui militer. Umat tidak akan pernah menghapusnya hingga negara kebenaran yang mutlak berdiri seperti yang dijanjikan oleh Allah kepada para hamba-Nya yang saleh dengan munculnya Imam Mahdi. “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun.”[15] “Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur setelah (tertulis) di dalam al-Zikr (lauh mahfûzh), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.” [16]

Negara Islam memiliki beberapa karakteristik:
Pertama, Negara Islam merupakan perpanjangan dan aplikasi bagi risalah. Negara sezaman dengan eksistensi risalah itu sendiri dan terkait dengan aplikasinya.

Kedua, Negara Islam mewujudkan gerakan universalitas. Di zaman Rasulullah Saw, negara bergerak ke arah universalitas melalui dakwah kepada kekuatan politik dunia agar masuk Islam, sebagaimana tampak dalam surat Nabi Saw kepada para raja, para gubernur, dan para sultan di masanya. Gerakan itu juga dilakukan melalui Perang Mu’tah, Perang Tabuk, dan misi Usamah bin Zaid yang mencerminkan tren global negara di luar bangsa Arab. Setelah itu Islam berekspansi dan menyebar pada masa Khulafa Rasyidin sepeninggal Rasulullah Saw.

Ketiga, negara Islam memiliki peran fundamental dalam mempersatukan umat Islam sebagai komponen dasarnya. Peran tersebut merupakan salah satu komponen dan asuransi penting bagi eksistensi umat Islam yang bersatu, untuk memelihara persatuannya dalam hal perasaan, emosi, perhatian, dan tujuan, meskipun negara Islam menghadapi masalah fragmentasi, keretakan, dan perselisihan dalam sejarahnya karena penyimpangan dalam tahap aplikasi yang dilakukan oleh sebagian pemimpin.

Keempat, universalitas dalam negara Islam bukan satu-satunya tujuan yang ingin dicapai oleh risalah, melainkan sebuah keniscayaan yang ada dalam sejarah, gerakan, dan kesempurnaan masa depannya. Pada akhirnya, persatuan pasti tercapai dan akan sempurna secara horizontal, vertikal, dan geografis, juga dalam muatan dan kandungannya, sebagaimana dijanjikan oleh Allah Swt, “Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur setelah (tertulis) di dalam al-Zikr (lauh mahfûzh), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.” [17] (Sayyid Muhammad Baqir al-Hakim)

Referensi:
[1] QS. al-A‘raf [7]: 158.
[2] QS. al-Ahzab [33]: 40.
[3] QS. al-Taubah [9]: 33.
[4] QS. al-Baqarah [2]: 285.
[5] QS. al-A‘raf [7]: 157.
[6] QS. Alu ‘Imran [3]: 110.
[7] QS. al-Maidah [5]: 54.
[8] QS. Muhammad [47]: 38.
[9] QS. al-Hadid [57]: 27.
[10] QS. al-taubah [9]: 31.
[11] “Dan ini (al-Qur’an) Kitab yang telah Kami turunkan dengan penuh berkah; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar engkau memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Makkah) dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Orang-orang yang beriman kepada (kehidupan) akhirat tentu beriman kepadanya (al-Qur’an) dan mereka selalu memelihara shalatnya.” (QS. al-An‘am [6]: 92).

“Dan demikianlah Kami wahyukan al-Qur’an kepadamu dalam bahasa Arab, agar engkau memberi peringatan kepada penduduk ibu kota (Makkah) dan penduduk (negeri-negeri) di sekelilingnya serta memberi peringatan tentang hari berkumpul (kiamat) yang tidak diragukan adanya. Segolongan masuk surga dan segolongan masuk neraka.” (QS. al-Syura [42]: 7).

Al-Tsa‘labi meriwayatkan dari ‘Adi bin Hatim, katanya “Aku menemui Rasulullah Saw dengan mengenakan kalung salib di leherku. Beliau bersabda, ‘Hai ‘Adi! Buang berhala itu dari lehermu!’ Maka kubuang kalung salib itu, kemudian aku menemui beliau yang saat itu sedang membaca ayat dari surah al-Taubah berikut, ‘Mereka menjadikan orang-orang yang alim (Yahudi) dan rahib-rahibnya (Nasrani)sebagai tuhan selain Allah,’ hingga tuntas. Aku katakan kepada beliau, ‘Kami tidak menyembah mereka!’ Beliau bertanya, ‘Bukankah mereka mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah, lalu kalian juga mengharamkannya, dan mereka menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah lalu kalian juga menghalalkannya?’ ‘Ya,’ jawabku. Beliau bersabda, ‘Itulah yang namanya menyembah mereka.’” Lihat Majma‘ al-Bayân, jilid 2, hlm 22; al-Durr al-Mantsûr, jilid 3, hlm. 230. Hadis ini diriwayatkan oleh al-Tirmidzi, al-Baihaqi, al-Thabrani dan imam hadis lainnya.

Abu Bushair mengatakan, “Aku bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Jakfar) tentang firman Allah “Mereka menjadikan orang-orang yang alim (Yahudi) dan rahib-rahibnya (Nasrani)sebagai tuhan selain Allah.” (QS. al-taubah [9]: 31) Beliau menjawab, “Demi Allah, orang-orang alim dan para rahib sama sekali tidak meminta disembah. Kalau meminta disembah, pasti para pengikutnya tidak akan menurut, tapi para rahib itu menghalalkan sesuatu yang haram dan mengharamkan sesuatu yang halal kepada para pengikutnya. Jadi tanpa disadari para pengikut itu telah menyembah orang-orang alim dan para rahib.” Lihat Nûr al-Tsaqalain, jilid 2, hlm. 209.

[12] Saya telah mengkaji topik ini dalam buku saya Ulûm al-Qur’ân, edisi ketiga, hlm 45, dan buku saya al-Hadf min Nuzûl al-Qur’ân, hlm. 13.
[13] QS. al-Baqarah [2]: 213.
[14] Kisah para pemuka Bani Israil menegaskan hal itu. “Tidakkah kamu memperhatikan para pemuka Bani Israil setelah Musa wafat, ketika mereka berkata kepada seorang nabi mereka, “Angkatlah seorang raja untuk kami, niscaya kami berperang di jalan Allah." Nabi mereka menjawab, “Jangan-jangan jika diwajibkan atasmu berperang, kamu tidak akan berperang juga.” Mereka menjawab, “Mengapa kami tidak akan berperang di jalan Allah, sedangkan kami telah diusir dari kampung halaman kami dan (dipisahkan dari) anak-anak kami? Tetapi ketika perang itu diwajibkan atas mereka, mereka berpaling, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim.” (QS. al-Baqarah [2]: 246). Dari kisah ini diketahui bahwa sampainya Dawud a.s ke tampuk kerajaan adalah berkat perkembangan alami perannya dalam perang, kekuatannya, dan keberhasilannya membunuh Thalut. Tolok ukur dalam kerajaan bukanlah kenabian, tapi keunggulan dalam ilmu dan fisik.
[15] QS. al-Nur [24]: 55.
[16] QS. al-Anbiya [21]: 105.
[17] QS. al-Anbiya [21]: 105.

Sumber:
www.taghrib.ir
www.id.al-shia.org
  • Print

    Send to a friend

    Comment (0)