• Black
  • perak
  • Green
  • Blue
  • merah
  • Orange
  • Violet
  • Golden
  • Nombre de visites :
  • 205
  • 10/12/2017-8:8
  • Date :
Kaidah Fikih

Peran dan Kedudukan Taqlid dalam Islam

Allah SWT berfirman : “…….Maka, apakah seseorang yang menunjuki (menghidayahi) kepada kebenaran lebih layak (berhak) untuk di ikuti ataukah seseorang yang tidak menemukan jalan kecuali di beri petunjuk?" (Q.S. Yunus : 35)

peran dan kedudukan taqlid dalam islam
Apabila terdapat seseorang yang mempunyai ilmu dan keahlian sedangkan yang lainnya tidak memiliki, maka akal dan fitrah manusia akan menetapkan untuk mengikuti orang berilmu (Alim) sesuai dengan bidang keahlian yang di milikinya serta menerima pekataannya, dan seluruh orang-orang berakal (uqala`) di dunia,dari semua suku, bangsa serta para penganut agama-agama dan mazhab, akan menerima bahwa merujuknya seorang Jahil kepada seorang Alim serta mencontoh darinya adalah perbuatan yang rasional dan fitri dan hal ini tidak bisa di ingkari. Atas dasar ini, apabila kita tidak mempunyai ilmu dan keahlian sementara kita butuh dengan ilmu atau spesialisasi tersebut maka kita mendatangi orang-orang yang mempunyai ilmu dan spesialisasi serta mengambil manfaat dari keahlian mereka. (Baca Juga: Apakah Manusia Membutuhkan Hukum Baru?)

Seorang yang sakit secara natural akan mendatangi seorang dokter atau seorang yang ingin membangun rumah dan membutuhkan pola dan desain bangunan, akan mendatangi seorang arsitek bangunan sehingga ia bisa dibuatkan skema bangunan olehnya. Merujuk kepada Ahli dalam setiap spesialisasi serta merujuknya seorang Jahil kepada Alim adalah sesuatu yang rasional dan fitri, oleh karena itu tidak memerlukan petunjuk dan tata cara, misalnya: Orang sakit tidak perlu di paksa mendatangi dokter sebab ia sendiri mengetahui hal itu dan untuk mengobati dirinya tidak ada cara lain kecuali merujuk ke dokter.

Dengan memperhatikan apa yang telah kita kemukakan, orang-orang yang tidak mengetahui kewajiban agama dan hukum-hukum syar`i berdasarkan fitrah dan akalnya akan mendatangi orang-orang yang mempunyai spesialisasi atau keahlian dalam masalah-masalah agama dan yang telah sampai pada derajat ijtihad atau kefaqihan dan mereka akan mengikuti atau bertaqlid dengannya. Olehnya itu tanpa harus melihat adanya riwayat dan ijma dalam hal wajibnya taqlid dan merujuk kepada fuqaha, bertaqlid kepada seorang mujtahid serta mengamalkan risalahnya merupakan bentuk nyata (misdaq) dari merujuknya seorang Jahil kepada Alim dimana hal ini adalah sesuatu yang fitri dan diterima oleh orang-orang berakal di seluruh dunia. Dan menurut pandangan orang-orang berakal (uqala`) jika seorang Jahil dalam hal apa saja, tidak merujuk kepada seorang Alim dan kemudian terjatuh dalam kesalahan dan kekeliruan, maka ia tidak akan di maafkan serta layak mendapat celaan.

Uqala` (orang-orang berakal) akan mencela seseorang yang memiliki risalah Marja taqlid namun tidak merujuk kepadanya dan bersikap keras kepala dalam menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya serta melakukan kesalahan dan kekeliruan di dalamnya. Apabila seseorang tidak merujuk kepada orang-orang yang mengerti ilmu-ilmu agama (Ulama) dan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan perintah - perintah Ilahi, maka Ia dihadapan Tuhan tidak akan memperoleh maaf. Oleh karena itu merujuknya seorang Jahil kepada Alim dan memanfaatkan ilmunya serta mengikut kepadanya adalah tindakan yang rasional dan fitrawi. Akan tetapi, terkadang seorang Alim memberikan bimbingan dengan cara lisan untuk mengarahkan orang - orang ke jalan yang benar dan terkadang pula menunjukkan atau memberikan bimbingan dan perintah - perintah secara tertulis, dan dengan jalan ini ia menempatkan (menunjukkan) cara dan metode - metode yang shahih di hadapan yang lain.

Para psikolog dan sosiolog memiliki banyak pendapat berkenaan dengan pentingnya peranan taqlid dalam kehidupan manusia diantaranya adalah Gabriel Tarde seorang psikolog terkenal Barat, ia berkeyakinan bahwa penyebab utama dan paling mendasar berkumpulnya manusia serta kesiapan mereka menerima budaya adalah taqlid. Jika taqlid tidak pernah ada maka kita tidak akan bisa memahami bahasa dan tulisan,kita tidak bisa berbicara serta tidak akan mampu menggunakan atau memanfaatkan warisan (peninggalan) orang-orang terdahulu, setiap generasi yang datang jika tidak di dasari dengan taqlid serta tidak menyerap beberapa urusan dari orang lain, maka dalam pelbagai bidang kebutuhan dan penataan kehidupan sosial serta penyingkapan ilmu pengetahuan haruslah di mulai dari titik nol. Dengan demikian taqlid menjadi sebab berpindahnya warisan (peninggalan) orang-orang terdahulu kepada generasi mendatang dan jika suatu perbuatan atau perilaku dalam kehidupan kita tidak di pelajari dari orang-orang terdahulu, serta tidak menggunakan atau memanfaatkan temuan-temuan mereka, dari mereka kita tidak belajar bagaimana cara memasak makanan, bagaimana cara berpakaian dan pakaian apa yang mesti kita pakai serta bagaimana cara membangun rumah dan jika mesti didasarkan bahwa kita harus melakukan eksperimen dan berpikir dari yang baru, maka manusia tidak akan pernah menggapai peradaban dan kemajuan yang di milikinya sekarang ini. Oleh karena itu penyebab paling utama dan mendasar atau dengan kata lain satu-satunya penyebab utama yang telah menyebabkan perpindahan warisan-warisan kebudayaan dan peradaban manusia adalah taqlid. (Baca Juga: Konsep Taklid dalam Ajaran Ahlul Bait As)

Akan tetapi aliran di atas terlalu berlebihan dan kami tidak berpendapat bahwa taqlid adalah satu-satunya penyebab berkumpulnya manusia serta kesiapan mereka dalam menerima budaya, tetapi apapun wajah aliran tersebut, telah menunjukkan bahwa peranan taqlid dalam kehidupan manusia tidak bisa di abaikan dan tidak akan ada seorang pun yang bisa memutuskan dalam hidupnya untuk tidak belajar sama sekali dari orang lain bahkan dalam satu bidang sekalipun. Jika seorang bayi tidak pernah belajar bicara dari Ibu dan Ayahnya,bagaimana ia akan mampu berbicara? atau seseorang yang tidak mau belajar menulis dari seorang guru, bagaimana ia akan mampu menulis? dan begitu pula dengan perilaku kehidupan lainnya hingga pada kebutuhan-kebutuhan yang sangat vital serta menentukan dan menjadi tempat perbincangan hidup dan mati, sebagaimana seorang yang sedang sakit dan tidak mampu mengobati dirinya, jika ia tidak taqlid dan tidak mengikuti pendapat serta perintah dokter, maka kehidupannya akan terancam.

Ajakan Al Qur`An Untuk Bertaklid Kepada Orang-Orang Yang Terhidayahi Dan Menghindar Dari Orang-Orang Yang Menyimpang

Berkenaan dengan urgensi merujuk pada orang-orang Alim (Ulama) dan orang-orang yang telah memperoleh hidayah menuju Tuhan serta mengikuti mereka dan celaan untuk mengikuti orang-orang yang bukan ahlinya serta orang-orang yang tidak mendapat petunjuk, Allah SWT berfirman : “…….Maka, apakah seseorang yang menunjuki (menghidayahi) kepada kebenaran lebih layak (berhak) untuk di ikuti ataukah seseorang yang tidak menemukan jalan kecuali di beri petunjuk?" (Q.S. Yunus : 35)

Makna dan pesan ayat ini meliputi seluruh bidang kehidupan manusia serta semua masalah-masalah yang terkait dengannya, baik yang meliputi masalah-masalah syar`i dan taa`budi (ketaatan) serta akhlak juga meliputi bidang-bidang bahasan sosial dan politik serta memberikan arahan-arahan yang sangat membantu atau membangun kepada kita dalam seluruh hal-hal tersebut. Cara atau metode yang digunakan Tuhan untuk menyampaikan pesan kebenaran yang bersesuaian dengan akal dan fitrah adalah metode bertanya dimana metode ini merupakan rumus (rahasia) metode-metode penghidayahan al Qur`an dan dalam hal-hal tertentu dimana pengetahuan (konsep) yang benar dan pasti masih saja menjadi hal yang di ingkari, Tuhan akan menghadapi akal dan fitrah orang-orang yang mengingkari hakikat (kebenaran) dengan pertanyaan dan soal serta mengajaknya untuk menilai dan memutuskan serta meyakinkan mereka bahwa jalan yang mereka ambil sebelumnya adalah batil dan bertentangan dengan fitrah dan akal sehat. Tuhan berfirman, apakah seorang yang menginginkan kebahagiaan dan kebenaran akan mengikuti seseorang yang di hidayahi Tuhan dan ia mengenal jalan kebenaran dan menyakininya serta mampu membimbing atau menghidayahi yang lain menuju kebenaran (Tuhan) ataukah seseorang yang tidak mengenal kebenaran dan tidak mendapat hidayah, dan kalau pun ingin di hidayahi maka ia harus di bimbing dan diberi petunjuk oleh yang lain? Apa penilaian akal dan fitrah manusia dan pilihan manakah yang akan di dahulukan? Sudah pasti akal dan fitrah akan mengajak manusia untuk mengikuti seorang yang telah dihidayahi menuju kebenaran dan mampu membimbing yang lain serta menunjukinya pada jalan yang ia kenal dan yakini, bukan pada seorang yang tidak mengenal kebenaran dan kalaulah ia tidak mengakui kejahilan dirinya,dari perkataan dan perilakunya akan tersingkap bahwa ia tidak mengenali yang benar dan tidak pula terhidayahi.

Misdaq jelas dari orang-orang yang tidak menemukan hidayah menuju kebenaran adalah para intelektual skeptisisme yang meragukan segala sesuatu dan dengan bahwa mereka tidak tahu dan ragu dalam setiap sesuatu,mereka merasa bangga. Apakah kita harus mengikuti dan memilih jalan para Nabi dan Aulia Ilahi serta dibimbing dalam bayangan hidayah mereka menuju kebahagiaan dan kebenaran dimana mereka adalah orang-orang yang dihidayahi dan mengarahkan orang lain menuju kebenaran dengan keyakinan dan bashirat, ataukah kita mendatangi dan mendengarkan perkataan orang-orang yang ragu terhadap segala sesuatu serta tidak mengenal jalan dan menginginkan mereka untuk menunjukkan jalan kepada kita? kaum skeptisisme dalam menunjukkan keunggulan atau kedudukan tinggi logika mereka secara mendasar mengingkari mungkinnya mendapatkan pengetahuan yang bersifat yakin(pasti) dan mereka mengatakan bahwa manusia mustahil mendapatkan keyakinan hakiki terhadap sesuatu dan orang - orang yang mengaku diri yakin mengira (berhalusinasi) bahwa mereka menemukan keyakinan, Adalah badihi (sangat jelas) bahwa orang seperti ini tidak akan mampu menyampaikan orang lain kepada pengetahuan hakiki.

Urgensi Pemilahan Taqlid Yang Baik Dari Taqlid Yang Tidak Baik

Telah jelas bahwa apabila manusia tidak memiliki ilmu dan keahlian berdasarkan hukum akal dan fitrah, Ia harus merujuk kepada orang-orang yang memiliki keahlian dalam bidangnya, terlebih khusus lagi dalam hubungannya dengan masalah-masalah agama yang merupakan kebutuhan paling vital manusia, ia harus mendatangi orang-orang yang memiliki pengenalan sempurna terhadap hakikat dan pengetahuan agama sehingga dalam naungan hidayah dan petunjuk serta dengan mengikuti mereka ia mengenal dan mengamalkan kewajiban-kewajiban agamannya. Berdasarkan realitas inilah Tuhan berfirman :

"…….Maka, bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui" (Q.S. An Nahl :43)

Meskipun kami telah mengemukakan dengan sangat jelas bahwa merujuk dan bertaqlid kepada para ahli dalam setiap bidang spesialisasi adalah sesuatu yang fitri dan rasional, terdapat sekumpulan "syaitan" yang selalu menunggu untuk menyesatkan manusia dari jalan kebenaran dan untuk tujuan ini dalam masalah-masalah yang telah sangat jelas dan badihi sekalipun serta dalam hal taqlid terhadap ulama-ulama agama mereka memunculkan subhat (keraguan). Meskipun seluruh fuqaha telah menulis dalam risalah amaliyah mereka bahwa seorang Muslim untuk menjalankan kewajiban-kewajiban dan taklif syar`inya, ia mestilah seorang Mujtahid dan atau kalau ia mampu ia harus berhati-hati (ikhtiyat) dan selain dari pada itu adalah wajib untuk bertaqlid kepada seorang faqih yang memenuhi syarat (faqih jami` syarait),segelintir orang mengemukakan subhat bahwa dalam wilayah agama tidak boleh ada taqlid dan taqlid adalah perbuatan seekor kera, apakah taqlid kepada seorang Marja yang memenuhi syarat di luar dari pada hal ini bahwa seseorang yang tidak mengetahui sesuatu merujuk kepada seorang yang mengetahui? persis seperti seorang pasien yang tidak memiliki informasi atau pengetahuan kedokteran dan tidak mampu mengobati dirinya akan mendatangi seorang dokter dan kemudian memohon kepadanya untuk mengobati dirinya, bahkan ketika seorang dokter yang memiliki keahlian dalam salah satu cabang ilmu kedokteran terkena suatu penyakit dimana pengobatannya di luar dari pada spesialisasinya akan merujuk dan mengamalkan perintah seorang dokter yang ahli dalam menyembuhkan penyakitnya.

Tetapi harus diperhatikan pula bahwa kata taqlid memiliki kesamaan lafaz (kata) serta mempunyai makna yang berbeda-beda dan sebahagian dari contoh-contoh penggunaannya tidak baik serta secara akhlak tidak terpuji dan adanya persamaan lafaz pada kata taqlid inilah yang menyebabkan sebahagian orang melakukan mughalata (penipuan dalam berpikir) dan dengan bersanadkan bahwa sebagian dari taqlid-taqlid tersebut tidaklah terpuji,mereka mempertanyakan azas taqlid dan taqlid yang shahih pun mereka tolak, mereka lalai dari hal ini bahwa terkadang suatu kata memiliki beberapa makna yang berbeda-beda dimana diantara setiap makna-makna tersebut mempunyai kandungan dan hukum khusus. Terkadang pula perbedaan makna-makna sangat begitu jelas dimana seseorang tidak akan keliru dalam membedakannya.

Akan tetapi terkadang makna-makna atau penggunaan suatu lafaz antara satu dengan yang lainnya sangat begitu dekat dimana seseorang bisa lalai atau keliru dalam membedakan makna-makna yang di inginkan dan terkecuali orang-orang yang teliti dan perhatian,urusan ini bagi yang lain akan menjadi sulit (tertutup) dan tidak diketahui; disinilah sebahagian orang di sebabkan adanya makna-makna atau penggunaan yang tidak terpuji bagi suatu kata melakukan mughalata dan memindahkan hukum pada contoh-contoh yang lain. Perbuatan orang-orang yang melakukan mughalata adalah mencampur adukkan dua makna yang saling berdekatan dan sejenis meskipun sesungguhnya hubungan antara keduanya adalah umum-khusus atau mutlak-terbatas (muqayyad) dan bahkan dalam hal-hal tertentu adalah bertentangan,dan hal ini menyebabkan tertipunya orang lain serta munculnya subhat.

Berdasarkan hal ini baik dalam penelitian riwayat-riwayat atau ayat-ayat al Qur`an maupun dalam pembahasan-pembahasan akli (rasional), sebelum segala sesuatunya, kita harus memaknai istilah-istilah kunci secara benar dan teliti, misalnya dalam pembahasan kita sekarang ini, dengan teliti kita perjelas apa makna yang kita inginkan dari kata ittaba`,uswah dan taqlid,karena salah satu diantara makna-makna taqlid adalah merujuknya Jahil kepada Alim, baik dalam bidang pemikiran dan pendapat maupun dalam bidang amal dan perbuatan. Akan tetapi taqlid pun mempunyai beberapa makna dan misdaq yang tercela dan tidak terpuji yaitu mengikut kepada orang lain dalam urusan-urusan yang tidak benar dan tidak baik atau mengikut secara membabi buta dan tanpa alasan yang benar dan rasional.

Taqlid buta dan tanpa tujuan serta tanpa pandangan yang shahih ini yang kebanyakan mengambil bentuk berdasarkan keinginan hawa nafsu dan alasan-alasan yang tidak dapat diterima adalah taqlid kera itu sendiri, yang telah melanda masyarakat-masyarakat terbelakang serta orang-orang yang tidak memiliki karakter (identitas) dan jati diri, misalnya : ketika seorang olahragawan mengenakan sebuah pakaian sebagian anak-anak muda mengenakan dan memilih gaya pakaian itu pula tanpa mereka tahu mengapa olahragawan tersebut memilih mode khusus itu. Atau ketika terlihat seorang bintang film yang mencukur rambutnya dengan bentuk atau model tertentu, pada esok harinya segelintir orang mencukur rambut mereka dengan bentuk itu pula. Taqlid ini adalah buta dan tercela serta merupakan bentuk rujuknya seorang Jahil kepada Jahil. Manusia untuk menentukan pilihan-pilhannya haruslah memiliki logika dan argumentasi, bahwa seseorang berdasarkan gaya dan kegemarannya memilih bentuk khusus untuk rambut dan atau pakaiannya, yang lain tidaklah mesti bertaqlid darinya. Bahkan setiap orang haruslah memiliki kemerdekaannya sendiri dan harus berupaya memilih berdasarkan azas atau prinsip yang shahih, bukannya mengamalkan gaya atau selera orang lain sementara perbuatan mereka tidak memiliki sandaran ilmiah dan logis,bahwa seseorang memiliki uang atau olaragawan dan atau seorang bintang film dan tokoh politik terkenal tidaklah bisa menjadi dalil bahwa orang lain akan bertaqlid darinya dalam segala hal.

Yang lebih tidak pantas adalah terkadang mereka melakukan wawancara dengan seorang olahragawan atau seorang juara angkat besi yang tidak memiliki keahlian atau spesialisasi dalam bidang ekonomi dan menanyakan pandangannya tentang inflasi dan lapangan kerja dimana seharusnya yang ditanyakan darinya adalah tentang tekhnik-tekhnik dalam olahraga dan angkat besi bukan sesuatu yang di luar spesialisasinya, atau dalam hubungannya dengan suatu pandangan keagamaan mereka mendatangi seorang politikus atau seniman serta meminta pandangan dari mereka dan kemudian menunjukkannya sebagai sebuah pandangan dan pendapat yang shahih dan diterima. Sangat disayangkan taqlid yang tidak terpuji dan telah tersebar luas ini tidak mereka tolak serta tidak dijadikannya sebagai sesuatu yang tercela, akan tetapi dalam kaitannya dengan taqlid kepada fuqaha dimana fitrah dan akal sehat menganggab perlu hal tersebut serta merupakan kebutuhan mendesak masyarakat agamis, mereka menciptakan subhat (keraguan) dan mengatakan bahwa taqlid ini adalah perbuatan seekor kera dan tanpa arah yang jelas para ruhaniawan memaksa (mendorong) masyarakat untuk bertaqlid, sesungguhnya orang yang melontarkan tuduhan seperti ini, Ia sendiri menyerupai seekor kera yang bertaqlid kepada musuh-musuh Islam dan secara membabi buta melakukan keinginan-keinginan mereka serta menuangkan air kedalam penggilingan mereka, mereka pantas mendapatkan celaan dan kutukan. Tujuan orang-orang bodoh tersebut dalam mempertanyakan dasar taqlid adalah untuk menjauhkan masyarakat dalam bertaqlid dan mengikuti Nabi SAAW dan para Imam suci As.

Taqlid Yang Shahih Serta Peranan Kondisi (Syarat-Syarat) Sekitar Di Dalamnya
Bagi kita yang menginginkan dalam hubungannya dengan kewajiban-kewajiban agama dan hukum-hukum syar`i untuk mengikuti Nabi SAAW. dan Ahlul bait As. serta hendak menghilangkan dahaga dari telaga ma`arif dan fiqhi mereka, taqlid adalah sesuatu yang urgen dan merupakan cara atau metode yang tepat(sesuai) untuk lebih dekat dengan pendapat dan pandangan para Maksum. Dan dalam hal ini, kita memandang hina adanya subhat syaitani yang mengatakan bahwa taqlid dan mengikuti orang lain adalah tidak benar dan setiap orang haruslah menjadikan pendapat dan pandanganya sendiri sebagai ukuran. Pertama-tama kita harus mengkaji atau meneliti dasar taqlid dan setelah terbukti bagi kita bahwa menurut pandangan akal, fitrah, Qur`an dan sunnah dasar taqlid dan pemilihan uswah serta penempatan orang-orang saleh dan layak sebagai teladan adalah benar, kita perjelas ruang lingkup taqlid kemudian kita lihat dalam hal-hal apa saja taqlid itu sahih dan masuk akal serta dalam hal-hal apa saja taqlid itu tidak terpuji dan tercela, point lain yang tak boleh luput dari perhatian adalah efek syarat-syarat ruang dan waktu dalam urusan taqlid dan mengikut dari orang lain. Apakah hal itu merupakan bagian dari hukum-hukum dan aturan (tata cara) yang tidak mutlak ataukah syarat-syarat tempat dan waktu berpengaruh di dalamnya. Efek atau pengaruh syarat-syarat ruang dan waktu dalam adab dan kebiasaan-kebiasaan begitu jelas dan nyata, terkadang suatu cara (metode) pada kondisi-kondisi ruang dan waktu yang khusus dapat di adopsi dan diikuti akan tetapi dalam syarat-syarat ruang dan waktu yang lain tidak dapat diadopsi, misalnya di negeri yang sangat luas, terdapat sebahagian daerah yang beriklim panas dan sebahagian lagi beriklim dingin dan masyarakat di daerah-daerah tersebut mengenakan pakaian khusus yang sesuai dengan iklim daerahnya. Tentu saja syarat-syarat tempat dan iklim berpengaruh dalam pemilihan pakaian-pakaian yang lazim di daerah-daerah tersebut dan seseorang yang berada di daerah beriklim dingin,tidak bisa dan tidak boleh memilih pakaian orang-orang yang tinggal di daerah beriklim panas sebab hal itu bisa mengancam kesehatannya.

Apakah di karenakan Nabi SAAW hidup di daerah Hijaz yang beriklim panas serta berpakaian sesuai dengan iklim dan kondisi daerah tersebut, seseorang yang tinggal di daerah beriklim dingin boleh mengikuti beliau dalam hal ini serta menahan diri dari memakai pakaian hangat dan tidak memperhatikan syarat-syarat tempat beliau? olehnya itu taqlid dalam hal-hal yang benar sekalipun harus di lihat apakah cara dan perilaku yang ingin di ikuti dan di taqlidi tersebut adalah mutlak atau terbatas(terikat) dengan qaid labbi atau syarat-syarat tempat dan waktu berpengaruh di dalamnya. Penjelasannya; bahwa terkadang suatu perkataan disertai dengan batasan-batasan lafaz dan batasan(qaid) tersebut menyampaikan bahwa yang dikatakan adalah mutlak dan yang di inginkan bukan lafaz. Akan tetapi batasan lafaz tidak bisa mengarah (menunjuk) kepada perilaku sebab perilaku bukan dari kategori lafaz ataupun perkataan dan sesuatu yang menyebabkan terbatasnya perilaku adalah kondisi (syarat-syarat) dan alamat-alamat sekitar yang dalam istilahnya di sebut “quyud labbi” dan “alamat-alamat tempat” yang memanfaatkan isi atau makna perbuatan dan tempat serta syarat-syarat (kondisi) yang ada ketika melakukan perbuatan tersebut. Meskipun demikian terkadang perkataan pun mempunyai batasan (qaid) “labbi” yang tidak bisa di gunakan berdasarkan lahiriah perkataan bahkan batasan tersebut digunakan berdasarkan konteks dan kondisi(syarat-syarat) serta tempat dimana perkataan tersebut menyertai mereka sebelumnya, atau dengan penggunaan hukum-hukum akal yang terkait.

Perlunya Ijtihad Dan Taqlid Dalam Wilayah Agama
Tidak diragukan lagi bahwa untuk menentukan dan mengetahui hukum-hukum syar`i, tidak bisa suatu riwayat dalam bidang hukum(ahkam) yang sampai dari Ahlul Bait As. di terjemahkan dan kemudian di serahkan kepada masyarakat hingga mereka sendiri mengeluarkan hukum-hukum dari riwayat-riwayat tersebut. Namun demikian sebahagian orang mengatakan bahwa para fuqaha tidak perlu menulis risalah amaliyah dan kemudian menyerahkannya kepada masyarakat tetapi cukup menyerahkan riwayat-riwayat kepada masyarakat hingga mereka sendiri mengamalkannya.Dikarenakan pemahaman atas banyak riwayat-riwayat yang membutuhkan daya ilmiah dan ijtihad serta tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, maka riwayat-riwayat tersebut harus di amati berdasarkan sanad, arah serta tujuan di keluarkannya demikian pula dari sisi kemutlakan dan keterbatasan, umum dan khusus, ringkas dan gamblang (jelas), kontradiksi dan pertentangan yang ada diantara sebahagian mereka. Pengamatan dan riset atas riwayat-riwayat ini serta perbandingannya antara satu dengan yang lain hingga pada pengeluaran hukum-hukum hanya bisa dilakukan dari seorang mujtahid yang memiliki keahlian dalam bidang penggunaan dan pengistimbatan hukum-hukun dari al Qur`an dan sunnah. Terkadang sebuah riwayat dikeluarkan dari Maksum,akan tetapi yang dimaksudkan Maksum bagi kita tidak diketahui secara jelas. Seseorang yang ingin mendekati ufuk dari apa yang dimaksudkan Maksum dalam hal-hal seperti ini, haruslah mengetahui Fiqh al hadist dan dengan mengamati riwayat-riwayat yang sepadan serta memahami secara benar ruang(tempat) dimana riwayat-riwayat tersebut tertuang di dalamnya dan begitupula pengamatan batasan-batasan(quyud) yang kadang-kadang digunakan dari riwayat-riwayat lain akan mencapai maksud dari pada Maksum.

Demikian pula dalam hal perilaku dan cara beramal para Maksum As.dimana kita hendak mengadopsi dan mengikuti mereka, harus di perhatikan bahwa terkadang suatu perilaku jelas,gamblang dan mutlak serta tidak mempunyai batasan(qaid) waktu, tempat dan atau batasan lainnya, dari sisi ini perilaku tersebut bagi setiap orang dalam setiap tempat dan waktu dapat diadopsi dan untuk mengikuti perilaku tersebut kita tidak membutuhkan ijtihad. Misalnya “Keadilan” Imam Ali As. yang selalu dapat di diadopsi dan di ikuti serta tidak mengambil batasan(qaid). Akan tetapi terkadang suatu perilaku tidak mutlak dan mengambil batasan dan syarat-syarat waktu serta tempatnya tertentukan, Penjelasannya; bahwa seseorang tidak pernah ragu bahwa Imam Ali As. adalah ahli ibadah dan qira`at al Qur`an dan bahkan musuh-musuh beliau mengetahui bahwa sebagian besar waktu beliau digunakannya untuk beribadah hatta pada saat beliau sedang bekerja dalam kebun, bibir beliau hanya sibuk dengan dzikir dan do`a atau membaca al Qur`an.

Namun demikian apabila pelaksanaan suatu ibadah mustahab bertindihan dengan suatu kewajiban yang wajib, apakah beliau menahan diri dari melaksanakan kewajiban yang wajib dan hanya melakukan ibadah dan membaca al Qur`an? misalnya apabila telah ditetapkan bahwa beliau akan pergi berperang dengan Amr` bin Abdud apakah beliau mendahulukan pelaksanaan ibadah seperti shalat dari pada berperang dengan musyrik tersebut? tentu saja tidak demikian, sebagaimana beliau adalah seorang ahli ibadah juga seorang ahli jihad dan pedang, dan ketika pekerjaan tersebut saling bertindihan antara satu dengan yang lainnya, beliau selalu memperhatikan yang lebih utama. Dengan demikian sebahagian dari perilaku beliau mengambil batasan(qaid), sebagaimana pada contoh di atas pelaksanaan ibadah seperti shalat ketika bertumpang tindih dengan jihad maka Ia akan terbatas (muqayyad). Untuk mengadopsi perilaku yang tidak mutlak seperti ini kita mesti berijtihad dan apabila suatu perilaku di nukil dari orang besar untuk kita, dalam keadaan bagaimanapun kita tidak bisa mengikutinya, bahkan kita harus mengetahui dalil dan tujuan dari perilaku tersebut serta batasan-batasan(quyud) yang mengarah kepadanya; dalam kondisi seperti ini yang lebih utama akan diperhatikan. Ringkasnya adalah bahwa sebagaimana dalam hal memahami perkataan Ahlul Bait As. di dalam banyak kejadian memerlukan ijtihad, untuk mengikuti dan mencontoh sebahagian perilaku mereka pun di perlukan adanya ijtihad, dan berkenaan dengan perilaku semacam ini seorang faqih haruslah menjelaskan bahwa dalam kondisi-kondisi seperti apa perilaku tersebut dapat diikuti.

Referensi:
Di terjemahkan oleh Ali Imami dari buku : Naqshe Taqlid dar zendegi-e Insan (Qom, 2003) (Ayatullah Misbah Yazdi)

Sumber:
www.alhassanain.org
  • Print

    Send to a friend

    Comment (0)