• Black
  • perak
  • Green
  • Blue
  • merah
  • Orange
  • Violet
  • Golden
  • Nombre de visites :
  • 106
  • 27/10/2017
  • Date :
Kenabian dan Khatamiat

Kenabian

Imam Ali bin Abi Thalib as. “Ikutilah Nabimu yang paling baik dan paling suci, karena pada dirinya terdapat suri tauladan bagi yang meneladaninya dan tempat berduka yang paling duka. Hamba yang paling Allah cintai adalah orang yang meneladani Nabi-Nya dan mengikuti jejaknya.”

kenabian 
Apa Tujuan Hidup Manusia?
Dalam Pandangan Dunia Tauhid (Jahan Bini-e Tauhid), alam raya ini ada tidak dengan sendirinya, tetapi diciptakan oleh Sang Maha Pencipta dengan tujuan-tujuan tertentu. Tidak mungkin alam diciptakan tanpa tujuan, karena penciptaan alam termasuk dari perbuatan-Nya yang tidak mungkin sia-sia. (Baca Juga: Apakah Manusia Membutuhkan Hukum Baru?)

Lantas apa tujuan penciptaan alam raya ini?
Para filosof Ilahiyyin dan mutakallimin mengatakan, bahwa segala yang ada di alam raya tabiat ini bergerak sesuai dengan status dan posisi tabi’i-nya (alaminya) menuju kesempurnaannya masing-masing. Tumbuh-tumbuhan, binatang, bahkan benda-benda yang secara lahiriah tampak mati, bergerak secara alami dan sesuai dengan kapasitas wujudnya menuju kesempurnaan wujudnya masing-masing, tidak kurang dan tidak lebih. (QS. Al-Qamar ayat 49). Pergerakan mereka menuju kesempurnaan merupakan bukti ketaatan mereka kepada Sang Pencipta.

Sebagian mufasir menafsirkan tasbih dan sujudnya segala yang ada di alam raya ini dengan pergerakan mereka menuju kesempurnaan. Dalam hal ini manusia tidak berbeda dengan makhluk lainnya, artinya sama-sama bergerak. Akan tetapi karena manusia adalah makhluk yang berikhtiar, maka titik gerakan yang ditujunya tergantung pada pilihan mereka. Terkadang mereka menuju kesempurnaan dan terkadang menuju kehancuran.

Akhir dari kesempurnaan adalah Allah Ta’ala sebagai Kesempurnaan yang mutlak. Untuk itulah manusia diciptakan. Sedangkan kehancuran, adalah segala tujuan selain Kesempurnaan yang mutlak.

Ketika seseorang bergerak menuju kesempurnaan, manfaat pergerakannya itu dirasakan oleh dirinya dan alam sekitarnya. Bagaikan minyak kesturi yang wangi semerbak, selain dirinya wangi juga menebarkan wewangiannya kepada sekitarnya. (Baca Juga: Kenabian Pamungkas dan Syariat Islam)

Tentang hal di atas, Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah, Sungguh shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku semata untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Surat Al-An’am ayat 162).

Demikian pula Allah berfirman, “Dan sekiranya penghuni kampung beriman dan bertaqwa, niscaya Kami bukakan untuk mereka barakah-barakah dari langit dan bumi.” (QS. Al-A’raf 96)

Demikian halnya, orang yang bergerak menuju kehancuran, disamping dirinya hancur dia juga menghancurkan sekitarnya. Allah berfirman, “Dan jika dia berpaling, maka dia berusaha untuk membuat kehancuran di dalamnya dan membinasakan tanaman dan keturunan.” (QS. Al-Baqarah ayat 205).

Bahkan mereka juga berusaha membendung dan menghalangi golongan pertama, seperti Allah lukiskan dalam Al-Qur’an, “Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, namun Allah tidak menghendakinya melainkan menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir membencinya.” (QS. Al-Anfal ayat 32).

Selama perjalanan sejarah umat manusia, sejak dari Habil dan Kabil hingga hari akhir dunia, senantiasa terdapat orang-orang yang bergerak menuju kesempurnaan dan yang bergerak menuju kehancuran. Kedua kelompok ini saling berseberangan dan tarik menarik. Pada gilirannya kedua kelompok ini memiliki pengikut dan musuh.

Syahid Muthahhari dalam buku Jâzebeh wa Dâfi’eh-e Ali menyebutkan, bahwa Ali bin Abi Thalib as. adalah orang yang mempunyai kawan dan lawan, dan ini adalah ciri seorang mukmin. Dia dicintai para kekasih Allah dan dibenci musuh-musuh-Nya.

Jadi tujuan penciptaan manusia adalah kesempurnaan (Allah), sebagaimana ucapan sang kekasih Allah, Ibrahim as. yang direkam Al-Qur’an, “Berkata (Ibrahim as) : Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku yang akan membimbingku.” (Surat As-shafat ayat 99).

Bagaimana manusia sampai kepada Kesempurnaan Ilahi ? Untuk sampai kepada tujuan yang Allah inginkan dari seluruh makhluk-Nya, maka dengan luthf-Nya (karunia dari Allah yang dengannya manusia dekat dengan-Nya) Allah memberikan bimbingan kepada segala ciptaan-Nya. Sebagaimana Allah firmankan, “Tuhan Kami yang telah menciptakan segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.” (QS. Thaha ayat 50).

Memberi bimbingan kepada semua makhluk-Nya disamping luthf, itu merupakan bagian dari konsekuensi logis (lazim aqli) wujud-Nya yang Sempurna dan Mutlak. Dia sendiri telah menetapkan atas diri-Nya untuk melakukan hal itu (QS. Al-An’am ayat 12 dan ayat 54).

Demikian pula manusia yang tujuan (penciptaannya) amat agung telah diberi bimbingan oleh Allah, karena tanpa bimbingan-Nya tidak mungkin ia sampai kepada tujuan yang Allah inginkan darinya.

Lebih dari itu manusia berbeda dengan makhluk lainnya dalam pergerakan dirinya menuju kesempurnaan, ia dihadapkan kepada musuh hebat yang senantiasa akan merintangi dan menghalangi manusia untuk sampai kepada kesempurnaan. Musuh tersebut berupa hawa nafsu, setan dan manusia-manusia yang telah menjadi budak keduanya. Oleh karena itu manusia dibimbing dengan dua macam bimbingan, yaitu bimbingan batiniah dan bimbingan lahiriah.

Hal itu merupakan kelebihan manusia dari makhluk lainnya, sehingga seorang manusia yang dengan konsisten mengikuti kedua macam bimbingan tersebut benar-benar menjadi khalifah Allah di muka bumi ini, serta disediakan untuknya sorga di akhirat kelak.

Bimbingan batiniah berupa akal, sedangkan bimbingan lahiriah berupa para Nabi dan Washi (penerus) mereka. Imam Musa al-Kadzim as. berkata, “Sesungguhnya Allah mempunyai dua hujjah atas manusia, hujjah lahiriah dan hujjah batiniah. Hujjah lahiriah adalah para Rasul dan Imam, sedangkan hujjah batiniah adalah akal.”

Keduanya sama penting sehingga tidak mungkin seseorang sampai kepada kesempurnaan hanya dengan salah satunya.

Bimbingan para Nabi laksana jalan yang mengantarkan seseorang kepada kesempurnaan, sedangkan akal laksana lampu yang menerangi jalannya. Berjalan tanpa ada jalan yang akan dilalui, tidak mungkin sampai ke tujuan. Demikian pula, berjalan tanpa cahaya akan menabrak ke sana ke mari.

Keduanya selalu berjalan seiring dan tidak akan pernah bertolak belakang. Banyak keterangan dari agama tentang akal dan peranannya (hal ini perlu kajian tersendiri).

Akal senantiasa menunjukkan dan mengajak kepada kebenaran serta cenderung mendorong (manusia) untuk melakukan kebaikan.

Meskipun demikian tidak cukup seseorang mengandalkan akalnya saja. Dia membutuhkan bimbingan para Nabi agar tidak keliru dalam menjalankan praktek-praktek pendekatan diri kepada kesempurnaan Ilahi.

Para Nabi dan Rasul adalah Para Pembimbing Ilahi

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa manusia walaupun dibekali akal, dia tetap membutuhkan (bimbingan) para Nabi. Mereka memang diutus oleh Allah untuk mengantarkan manusia kepada-Nya, “Katakanlah, Inilah jalanku. Aku mengajak kepada Allah atas dasar bashirah (matahari atau akal). Aku dan orang yang mengikutiku.” (QS. Yusuf 108).

Kehadiran Nabi dan Rasul sangatlah dibutuhkan oleh umat manusia, karena banyak di antara mereka yang tidak dapat menghidupkan dan mengaktifkan akalnya disebabkan tertutup oleh hawa nafsu dan bujukan setan. Para Nabi diutus untuk menggali kembali khazanah-khazanah akal yang terpendam di kedalaman jiwa manusia.

Imam Ali bin Abi Thalib as. dengan sangat indah menjelaskan filsafat pengutusan para Nabi, “Allah mengutus di tengah-tengah mereka rasul-rasul-Nya dan mengirim kepada mereka nabi-nabi-Nya, untuk meminta pertanggung jawaban perjanjian fitrah-Nya, mengingatkan mereka atas nikmat-Nya yang terlupakan, menuntut mereka dengan tabligh, menggali untuk mereka khazanah-khazanah akal dan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan-Nya.” (Nahjul Balaghah, khutbah nomor 1).

Selain itu para Nabi dibutuhkan pula oleh mereka yang telah mengaktifkan akal sehingga mengenal Sang Pencipta tanpa bimbingan para Nabi, karena para Nabi selain mengajarkan Tauhid, juga mengajarkan ubudiyyah yang benar. Jadi kehadiran para Nabi sangat dibutuhkan oleh seluruh umat manusia.

Karena itulah Allah tidak mempunyai alasan untuk membinasakan suatu kaum, kecuali setelah diutus kepada mereka seorang Nabi, “Dan tidaklah pantas bagi Kami membinasakan (suatu kaum) kecuali (setelah) Kami utus seorang Rasul.” (QS. Al-Isra ayat 15).

Perjalanan menuju Allah tidak akan pernah berakhir, karena Dia adalah Dzat yang Tidak Terbatas, selain banyak pula duri-duri yang harus dihindari. Maka satu-satunya cara yang paling dijamin untuk sampai dengan selamat, adalah bergabung dengan kafilah orang-orang yang suci dan terjamin.

Mereka adalah pilihan-pilihan Allah, yang sebelum mengajak umat manusia untuk mereguk air cinta yang suci, menyaksikan kebesaran-Nya serta merasakan lezat dan nikmatnya munajat dan liqa (perjumpaan) dengan-Nya, mereka telah menggapai semua itu.

Tidak perlu heran jika ajakan dan ajaran para Nabi atau orang-orang yang mengikuti mereka dengan konsisten, lebih menyentuh dan merasuk ke dalam kalbu dari pada ajakan dan ajaran orang-orang yang belum sampai kepada kesempurnaan (Allah).

Para Nabi menyerukan kepada sesuatu yang sudah mereka rasakan, sementara kebanyakan orang mengajak kepada sesuatu yang belum mereka rasakan (wa syattana maa bainahuma).

Para Nabi siap mengorbankan segalanya demi menyampaikan kebenaran dan menegakkan keadilan, lantaran mereka cinta kepada kebenaran dan keadilan, serta sangat penyayang kepada umat manusia.

Hal itu Allah lukiskan dalam ayat berikut, “Sungguh, telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kalangan kalian, yang sangat berat (terasa) baginya penderitaan kalian, yang sangat berharap dari kalian (untuk beriman) dan sangat sayang serta belas kasih terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anfal : 128).

Para Nabi adalah khalifah-khalifah (wakil-wakil) Allah dan penghubung antara Allah dengan umat manusia. Karena itu barang siapa mencintai mereka berarti mencintai Allah dan barang siapa menaati mereka berarti menaati Allah.

Sangat tidak logis jika seseorang mengaku mencintai Allah tetapi tidak mencintai para Nabi. Karena jika dia benar-benar mencintai Allah, maka konsekuensinya dia akan mencintai para kekasih-Nya.

Adakah di antara umat manusia yang lebih dicintai oleh Allah dari pada para Nabi ?

Siapakah Muhammad Saaw?

Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diperjelas sudut pandang kita dalam melihat pribadi Nabi Muhammad saaw. Dari sisi mana kita memandang beliau. Karena tanpa itu kita akan terjebak pada pandangan yang dîngin terhadap beliau. Pandangan yang tanpa muatan pensucian (taqdis) dan penghormatan (tasyrif). Bahkan terkadang memandangnya hanya sebagai satu sosok manusia yang bernyawa, makan, minum, nikah dan akhirnya mati, titik.

Lalu bagaimana seharusnya kita memandang pribadi Rasulullah saaw ? Memang Rasulullah saaw adalah seorang manusia sebagaimana saudara-saudaranya dari keturunan Adam. Akan tetapi bukankah justru kemanusiaan seorang manusia tidak dilihat dari unsur jasmaninya (fisik) ? Karena melihat manusia dari sisi jasmaninya, tidak lebih dari binatang yang juga bernyawa, makan, minum, nikah dan mati.

Dengan demikian kita harus melihat manusia dari sisi ruhani atau spiritualnya. Karena dari sisi inilah, manusia lebih mulia dari binatang. Dalam hal ini derajat manusia berbeda-beda.

Jika manusia dipandang dari sisi jasmaninya saja, kita tidak boleh membedakan seorang manusia dari manusia lain atau satu golongan manusia dari golongan lainnya, sebab manusia secara substansial adalah sama. Perbedaan fisik yang ada, sifatnya hanya eksidental, seperti warna kulit, ras, etnis dan lain-lain.

Tidak demikian halnya bila dipandang dari sisi ruhani, manusia mempunyai perbedaan dan tingkatan-tingkatan kemuliaan.

Allah Ta’ala berfirman, “Wahai manusia, Kami ciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian, adalah yang paling taqwa.” (QS. Al-Hujurat : 13).

“Allah mengangkat orang-orang beriman dan berilmu pengetahuan di antara kalian beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadalah : 11).

Ayat pertama ingin menekankan, bahwa perbedaan jenis kelamin, warna kulit dan bangsa merupakan pertanda kebesaran Allah Ta’ala dan jangan dijadikan sebagai penyebab yang satu lebih mulia dari yang lain. Karena kemuliaan hanya dilihat dari ketaqwaan yang merupakan ciri spiritualitas seseorang dan bukan dilihat dari ciri-ciri fisikal.

Demikian pula ayat kedua menjelaskan, bahwa ketinggian derajat manusia diukur dari iman dan ilmu. Keduanya merupakan bagian dari unsur ruhani.

Jadi andaikan saja kita tidak boleh melihat dan membedakan manusia dari unsur jasmani, maka alangkah naifnya jika kita melihat Rasulullah saaw dari sisi jasmani.

Kita harus melihat Nabi dari sisi ruhani, sehingga akan jelas siapa sebenarnya beliau. Apakah beliau seperti manusia lainnya ?

Kemudian apakah pantas kita mengatakan, bahwa Muhammad saaw sama dengan kita, hanya karena beliau adalah manusia ?

Apabila kita bermaksud membicarakan pribadi Rasulullah saaw, maka harus kita jauhkan unsur jasmaninya. Sebab jika tidak, berarti kita membicarakan maaf-maaf unsur kebinatangannya. Sehingga dengan menjauhkan unsur jasmaninya, kita dapat mendudukkan beliau pada proporsi yang sesuai dengan ketinggian ruhaninya.

Memang kita yakini, bahwa dari sisi jasmaninya pun beliau mempunyai banyak kelebihan dan itu merupakan percikan sekian persennya saja dari kemuliaan ruhaninya yang sangat agung.

Nabi Muhammad saaw dalam pandangan Allah Ta’ala

Lantaran keterbatasan dan kerendahan spiritual kita (manusia selain Rasulullah), maka sulit bagi kita untuk mengetahui siapakah sebenarnya Nabi Muhammad saaw itu?

Benar adanya apa yang dikatakan Imam al-Bushiri dalam salah satu bait syair pujian beliau terhadap Rasulullah, yang termuat dalam kitab al-Burdah. Beliau berujar :

“Sungguh, keutamaan Rasulullah tiada dibatasi dengan batas

yang dapat diungkap mulut manusia.”

Yang paling layak dan benar melihat dan menilai Rasulullah saaw, adalah yang menciptakan beliau sendiri, yaitu Allah Ta’ala.

Marilah kita lihat bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala memandang Rasulullah saaw.
1. Dalam banyak ayat Al Quran diterangkan, bahwa Muhammad adalah seorang Nabi dan utusan Allah. Ini merupakan suatu kemuliaan yang tidak sembarangan orang dapat menggapainya.

Kenabian adalah kedudukan spiritual yang sangat tinggi. Hanya manusia-manusia tertentu yang meraihnya. Dengan kedudukan ini, beliau dapat berkomunikasi langsung dengan Allah. Bahkan lebih dari itu, beliau telah mengalami perjalanan spiritual dan fisik yang tidak pernah dialami seorang pun manusia sebelum dan sesudahnya, yaitu Isra dan Mi’raj.

Saya kira dengan pengangkatan Muhammad saaw sebagai Nabi dan Rasul, cukup menjadi bukti bahwa beliau benar-benar mulia dan patut dimuliakan dan diagungkan, serta tidak bisa disetarakan dengan manusia lainnya.

Begitu tingginya kedudukan beliau, sampai-sampai Allah menyertakan ketaatan kepada Nabi dengan ketaatan kepadaNya dan mengikuti Nabi adalah syarat kecintaan kepada-Nya (Lihat Al Quran surat Ali-Imran ayat 31).

Setelah itu apakah kita pantas mengatakan bahwa Nabi sama dengan kita, hanya karena beliau seorang manusia ?

2. Dalam Al Quran surat Al-Ahzab ayat 21, Allah Ta’ala berfirman :

“Sungguh bagi kalian pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik, bagi orang yang mengharapkan (ridha) Allah dan hari akhirat, serta banyak berzikir.”

3. Dalam Al Quran surat Al-Qalam ayat 4, Allah Ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya engkau berada pada akhlak yang agung.”

4. Dalam surat At-Taubah ayat 128, Allah berfirman :

“Sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul dari (jenis) kalian. Berat terasa olehnya penderitaan kalian, yang sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian. Amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”

5. Dalam surat Al-Insyirah ayat 4, Allah berfirman :

“Dan Kami tinggikan sebutanmu (Muhammad saaw).”

Demikian pula masih banyak ayat-ayat lainnya yang mengungkapkan keagungan Rasulullah saaw, yang tidak mungkin dicantumkan semua dalam lembaran yang sangat terbatas ini.

Ungkapan-ungkapan di atas dan yang sejenisnya dalam Al Quran keluar dari perkataan Sang Pencipta seluruh alam semesta. Sudah jelas semua itu bukan sekedar basa-basi yang acapkali dilakukan oleh manusia ketika memuji yang lain. Karena Allah sama sekali tidak berkepentingan untuk menyanjung, dengan sanjungan yang sifatnya basa-basi atau mencari muka.

Seluruh ungkapan di atas benar-benar menjelaskan fakta yang sesungguhnya, bahwa Nabi Muhammad saaw sebagai suri tauladan untuk umat manusia. Beliau adalah seorang yang berakhlak agung dan luhur, dan beliau adalah seorang yang sangat penyayang dan pengasih (terhadap umatnya). Adakah pujian dan sanjungan yang lebih tulus dan lebih benar, dari pujian dan sanjungan-Nya ?

Kalau saja Allah sedemikian tinggi memuji Rasulullah saaw, lantas apakah kita diam tidak mengikuti sunnatullah, karena alasan khawatir terjerembab ke dalam pengkultusan individu ?

Nabi Muhammad saaw menurut Hadis
Ketinggian dan kebesaran Nabi Muhammad saaw banyak dikutip dalam berbagai kitab Hadis. Kajian tentangnya, membutuhkan tulisan yang khusus dan luas.

Mengenai keagungan dan kebesaran Nabi Muhammad saaw dapat kita lihat dalam kitab-kitab Hadis dan sejarah beliau. Dalam lembaran yang sangat terbatas ini, hanya akan dikutip sebagian kecil saja dari Hadis-Hadis yang menceritakan ketinggian dan kebesaran beliau, antara lain :

1. Abu Abdillah Ja’far as Shadiq as. berkata, “Suatu malam Rasulullah saaw berada di rumah Ummu Salamah ra., salah seorang isteri beliau. Beliau mendatangi isterinya tersebut di tempat tidurnya. Kemudian beliau melakukan hubungan dengannya sebagaimana layaknya beliau lakukan pada isteri-isteri lainnya.

Setelah itu, Ummu Salamah mencari-cari beliau di sekitar rumahnya, sampai ia menjumpai beliau di sudut kamarnya dalam keadaan berdiri dan mengangkat kedua tangannya sambil menangis dan berucap,

Ya Allah, janganlah Engkau renggut kebaikan yang telah Engkau anugerahkan kepadaku selama-lamanya.

Ya Allah, janganlah Engkau hibur daku dengan seorang musuh dan janganlah pula dengan seorang yang dengki selamanya.

Janganlah Engkau kembalikan daku kepada kejelekan, yang telah Engkau selamatkan daku darinya selama-lamanya.

Ya Allah, janganlah Engkau jadikan daku berserah diri kepada diriku sendiri, walau sekejap pun untuk selama-lamanya.

Kemudian Ummu Salamah berpaling sambil menangis, hingga Rasulullah pun berpaling, lantaran mendengar tangisan isterinya tersebut. Lalu beliau bertanya kepadanya, “Gerangan apa yang menyebabkan engkau menangis, wahai Ummu Salamah ?”

Seraya ia menjawab, “Demi ayah dan ibuku, bagaimana aku tidak menangis, sementara Tuan dengan kedudukan yang telah Allah berikan kepada tuan sekarang, yang mana Allah telah menjamin Tuan dengan ampunan atas dosa-dosa Tuan yang telah lalu dan yang akan datang masih memohon kepada-Nya, agar Dia tidak mengembalikan Tuan ke dalam kejelekan yang Tuan telah diselamatkan-Nya darinya untuk selama-lamanya, agar Dia tidak mengambil kembali kebaikan yang telah dianugerahkan kepada Tuan selama-lamanya, dan agar tidak menjadikan Tuan berpasrah diri kepada diri Tuan sendiri walau sekejap pun, untuk selama-lamanya ?”

Rasulullah saaw balik bertanya, “Wahai Ummu Salamah, apa yang dapat menjadikan aku aman (dari azab Tuhan) ? Sungguh, Yunus bin Mata telah berserah diri kepada dirinya sendiri untuk sekejap mata, maka terjadilah apa yang pantas terjadi pada dirinya ?”

1.Al-Husein bin Ali, ketika menjelaskan tentang kekhusyuan Rasulullah saaw dalam shalatnya, beliau berkata, “Rasulullah saaw menangis hingga air matanya membasahi tempat shalatnya. Tidak syak lagi hal itu disebabkan rasa takut beliau kepada Allah swt.

Nabi Muhammad Saaw menurut pandangan Imam Ali bin Abi Thalib as.

Sengaja kami kutip komentar Imam Ali as. mengenai Rasulullah saaw, karena Ali adalah seorang sahabat yang paling dekat dengan beliau dan paling kenal kepada beliau.

Imam Ali bin Abi Thalib as. ketika menerangkan pribadi Rasulullah saaw berkata :

“Ikutilah Nabimu yang paling baik dan paling suci, karena pada dirinya terdapat suri tauladan bagi yang meneladaninya dan tempat berduka yang paling duka. Hamba yang paling Allah cintai adalah orang yang meneladani Nabi-Nya dan mengikuti jejaknya.”

Dia telah melepaskan dunia dan tidak memperdulikannya. Dia adalah penghuni dunia yang paling kurus dan paling sering lapar. Telah ditawarkan padanya dunia, namun dia enggan menerimanya. Dia mengetahui bahwa Allah tidak menyukai sesuatu, maka diapun tidak menyukainya. Allah meremehkan sesuatu, maka diapun meremehkannya dan jika Allah menganggap kecil sesuatu, maka diapun menganggapnya kecil.

Sekiranya yang kita cintai adalah sesuatu yang Allah dan Rasul-Nya murkai, dan yang kita besarkan adalah sesuatu yang oleh Allah dan Rasul-Nya kecilkan, maka itu cukup menjadi bukti penolakan dan penentangan kita terhadap perintah Allah.

Rasulullah saaw adalah orang yang makan di atas tanah, yang duduk laksana duduknya seorang budak, yang menambal sandalnya dengan tangannya sendiri, yang menjahit bajunya dengan tangannya sendiri, yang mengendarai keledai yang tak berpelana dan yang membawa tumpangan di belakangnya.

Pernah suatu hari di atas pintu rumahnya dipasang tabir yang bergambar. Lalu beliau berkata kepada salah seorang isterinya, ”Wahai Fulanah, hilangkan tabir itu dariku, karena aku jika melihatnya, maka aku akan ingat dunia dan segala keindahannya.’’

Dia berpaling dari dunia dengan hatinya, mematikan ingatan kepada dunia dari dalam jiwanya dan menyukai hilangnya hiasan dunia dari pandangannya, agar dia tidak menjadikan perhiasan darinya, menganggapnya kekal dan mengharapkan kesempatan darinya. Maka dia keluarkan (cinta) akan dunia dari jiwanya, dia enyahkan hal itu dari hatinya, serta dia hilangkan semua itu dari perhatiannya.

Kesimpulan
Setelah kita melihat bagaimana tinggi dan agungnya pribadi Rasulullah saaw dari sisi ruhaninya, lantas apakah hati kita tidak tergerak untuk menyatakan kekaguman dan keterpesonaan terhadap beliau, dengan memuji dan menyanjungnya ?

Sungguh telah banyak orang yang terpesona dengan keindahan akhlak beliau dan berdecak kagum dengan kepribadian beliau sepanjang sejarah umat manusia. Kekaguman itu mereka ungkapkan dalam puisi-puisi, pembacaan-pembacaan maulud dan manaqib Rasulullah saaw.

Merekalah yang benar-benar memahami arti sebuah kebesaran dan keindahan. Entahlah kita, apakah termasuk dari mereka atau termasuk dari orang yang enggan karena malu, atau karena hati yang keras, sehingga tidak mengenal arti keindahan dan kebesaran pribadi beliau, serta menganggap bahwa memuji dan menyanjung beliau sebagai pengkultusan individu ?

Sumber:
www.id.al-shia.org
  • Print

    Send to a friend

    Comment (0)