• Black
  • perak
  • Green
  • Blue
  • merah
  • Orange
  • Violet
  • Golden
  • Nombre de visites :
  • 188
  • 29/9/2017
  • Date :

Hukum Menyogok

Pertanyaan: Apa hukumnya menyogok seorang pejabat akte supaya mempercepat proses keluarnya sertifikat tanah?

hukum menyogok

Jawaban:

Salah satu jalan non-syar’i dan ilegal untuk menyelesaikan urusan dan mengolkan tujuan adalah memberikan suap. Suap (riswah) adalah memberikan pelayanan-pelayanan atau harta tetap (fixed asset) atau lancar (current asset) atau uang kas kepada seorang petugas (yang menerima gaji dari baitul mal atau perusahaan atau organisasi) untuk mengerjakan atau mempercepat terselesaikannya sebuah urusan atau pekerjaan atau menetapkan kebatilan dan menampakkanya sebagai sebuah kebenaran.[1] (Baca Juga: Khumus Harta yang Dijadikan sebagai Modal)

 

Dengan kata lain, dalam terealisirnya perbuatan suap minimal tiga orang terlibat di dalamnya:

1.    Seseorang yang memberikan suap atau menyogok.

2.    Seseorang yang menerima suap atau disogok.

3.    Seseorang yang menjadi perantara bagi keduanya.

 

Dalam sebuah riwayat yang mencela perbuatan suap ini disebutkan bahwa ketiga orang ini (râsyi, murtasyi, al-mâsyi bainahumâ) mendapatkan laknat.[2]

 

Sehubungan dengan hukum suap dan sogok (risywah) harus dikatakan bahwa menyerahkan dan menerima sogok adalah haram.[3] Dalam menerima suap tidak terdapat perbedaan apakah ia seorang muslim atau seorang kafir yang hartanya patut dihormati[4] dan apabila seseorang mengambil sesuatu dari seseorang sebagai suap maka ia tidak akan menjadi pemilik sesuatu tersebut dan ia wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemilikinya serta tidak memiliki hak untuk membelanjakan harta tersebut.[5] (Baca Juga: Hukum Memakan Uang Suap)

 

Namun hanya dalam satu bentuk dibolehkan memberikan suap dan sogok yaitu seseorang yang memiliki hak atas sesuatu namun untuk memperoleh haknya ia tidak memiliki jalan lain kecuali harus memberikan suap.[6] Hanya saja, dalam kondisi seperti ini, orang tetap tidak boleh menerima suap dan status hukum uang yang diterima tersebut tetap haram. Dengan kata lain, menerima suap dan sogok, apa pun bentuknya dan bagaimanapun kondisinya adalah haram. Terlepas dari apakah ia menerima suap untuk memenuhi hak seseorang atau menggugurkan kebatilan, atau menyelesaikan urusan orang yang tidak memiliki hak dan melanggar orang yang memiliki hak.[7] Karena itu, dalam kondisi apa pun dan apa pun pangkatnya, sama sekali tidak dibenarkan seseorang menerima suap meski untuk memenuhi hak seseorang kendati tidak masalah memberikan suap.[8]

 

Terkait dengan keharaman memberikan suap, tidak terdapat perbedaan antara penyerahan langsung atau penyerahan dengan perantara; karena dalam hadis yang disebutkan bahwa menjadi perantara dalam memberikan juga seperti pemberi suap dan penerima suap yang mendapatkan laknat.[9]

 

Demikian juga, memberikan dan menerima suap juga tetap tidak dibenarkan meski tidak akan menimbulkan kesulitan atau problem bagi orang lain, apatah lagi hal-hal yang dapat menimbulkan kesusahan dan kesulitan bagi orang lain.[10]

 

Karena itu, hal yang disebutkan dalam pertanyaan, dalam kondisi apa pun, agen atau makelar yang menyerahkan suap dari uang atau harta pemilik tanah atau dari uangnnya sendiri akan menjadi haram kecuali untuk memenuhi hak kliennya yang hanya dapat dilakukan dengan cara menyerahkan suap yang dalam hal ini termasuk hal-hal yang mendapat pengecualian dan tidak termasuk sebagai perbuatan haram. Bagaimanapun (haram dan tidaknya menyerahkan suap) uang penjualan tanah tersebut adalah halal bagi pemiliknya.

 

Referensi:

[1]. Untuk telaah lebih jauh terkait dengan arti risywah (sogok atau suap) silahkan lihat Mahdi Hadawi Tehrani, Qadhawat wa Qadhi, hal. 188-193.  

[2]. Mirza Husain Nuri, Mustadrak al-Wasâil, jil. 17, hal. 355, Cetakan Pertama, Muassasah Ali al-Bait, Qum. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 101, hal. 412, Software Jami’ Fiqh Ahlulbait As.  

[3]. Imam Khomeini, Taudhih al-Masâil al-Muhassyâ, jil 2, hal. 913, Cetakan Kedelapan, Jami’ah Mudarrisin, Qum, 1424 H. Muhammad Taqi Bahjat, Jâmi’ al-Masâil, jil. 2, hal. 412, Cetakan Pertama, Qum, Tanpa Tahun.  Sayid Ali Khamenei, Ajwibah al-Istiftâ’at, hal. 273.

[4]. Taudhih al-Masâil al-Muhassyâ al-Imâm al-Khomeini, jil. 2, hal. 913.  

[5]. Ibid. Ajwibah al-Istiftâ’at, hal. 273.  

[6]. Taudhih al-Masâil al-Muhassyâ al-Imâm al-Khomeini, jil. 2, hal. 983. 

[7]. Ibid.  

[8]. Sayid Ali Siistani, Minhâj al-Shâlihin, jil. 2, hal. 16, Software Fauq. Muhammad Fadhil, al-Qadhâ wa al-Syahâdah, hal. 333, Cetakan Pertama, Markaz Fiqh al-Aimmah al-Athar As, Qum, 1420 H.  

[9]. Mirza Husain Nuri, Mustadrak al-Wasâil, jil. 17, hal. 355, Cetakan Pertama, Muassasah Ali al-Bait, Qum, 1408 H. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 101, hal. 412, Software Jami’ Fiqh Ahlulbait As.

[10]. Taudhih al-Masâil al-Muhassyâ al-Imâm al-Khomeini, jil. 2, hal. 983.  Ajwibah al-Istiftâ’at, hal. 274.

 

Sumber:
www.tanyaislam.net

 

 

  • Print

    Send to a friend

    Comment (0)