• Black
  • perak
  • Green
  • Blue
  • merah
  • Orange
  • Violet
  • Golden
  • Nombre de visites :
  • 73
  • 20/9/2017
  • Date :

Perang dengan Siapa?  

Ahlul kitab artinya kaum non muslim yang dikaitkan dengan kitab-kitab samawi, seperti Yahudi dan Nasrani. Mengenai kaum ini Alquran menyuruh perangi mereka “yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian, yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama yang benar..” Sampai mereka itu membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS: at-Taubah 29) Setelah itu, jangan diperangi!

perang dengan siapa?

Satu soal terkait kalimat dalam ayat ini; apakah yang dimaksud قاتِلُوا الَّذينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ; “Perangilah orang-orang yang telah diberikan Alkitab yang tidak beriman kepada Allah..” adalah perang ibtidâ`an (mendahului perang), ataukah perangi mereka jika mereka bertindak melampaui batas? (Baca Juga: Islam dan Pembangunan Politik)

 

Dengan kata lain dalam istilah ilmu ushul, apakah ayat suci ini mutlak, ataukah ada ayat lain yang mensyaratkannya (menjadi muqayad bagi yang mutlak)?

 

Kaidah Mutlak dan Muqayad

Sebuah perintah atau hukum (sekalipun dari manusia yang memerintah) terkadang mutlak dan terkadang muqayad (bersyarat). Yang mengeluarkan perintah mempunyai satu maksud dari dua hal ini. Jadi, kita simpulkan mutlak kemudian kita katakan muqayad dengan alasan tertentu, ataukah kita simpulkan muqayad setelah mutlak kita predikatkan padanya?

 

Contoh sederhananya: pemilik perintah yang dihormati perintahnya, jika ia menyampaikan perintah dalam dua masa dengan dua ungkapan; pertama dia mengatakan: “Hormati si fulan!” Perkataan ini mutlak, yakni tanpa satu syarat pun. Kemudian dia berkata, “Hormati dia jika hadir dalam pertemuan kita!” Kata “jika” ini berarti dia tidak mengatakan mutlak.

 

Perkataan pertama adalah mutlak, maknanya bahwa fulan hadir atau tidak hadir dalam pertemuan kita, “Saya harus menghormati dia.” Sedangkan perkataan kedua, jika fulan tidak hadir maka “Saya tidak menghormati dia.”

 

Kaidah ini menuntut kita predikatkan yang mutlak pada yang muqayad. Mutlak yang disampaikan, maksudnya adalah muqayad. (Baca Juga: Urgensi Membahas Politik Islam)

 

Ayat-ayat Terkait Jihad

Di antara yang mutlak dan yang muqayad dalam Alquran terdapat ayat di atas yang menyebutkan ciri-ciri mereka yang harus diperangi. Tetapi kita dapati ayat lainnya (QS: al-Baqarah 190) mengatakan: 

            وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ;

 “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu..” Apakah maksudnya ini juga mutlak, bahwa perangi mereka, baik mereka itu hendak memerangi kalian ataupun tidak, dan mereka itu bertindak melampaui batas terhadap kalian ataupun tidak?

 

Di sini mungkin ada dua pandangan:

Yang pertama, maksudnya adalah mutlak. Karena mereka (Ahlulkitab) bukanlah orang-orang Islam, dibolehkan kita memerangi mereka. Siapapun yang non muslim kita perangi sampai kita menundukkan mereka. Jika non muslim bukan seorang Ahlulkitab, kita perangi sampai dia menjadi muslim atau terbunuh. Jika dia seorang Ahlulkitab maka kita perangi sampai dia menjadi muslim, atau tidak menjadi muslim tapi tunduk kepada kita dan membayar pajak. Demikian apabila ayat itu dipandang mutlak.

 

Yang kedua, tidak demikian jika dikatakan bahwa yang mutlak dipredikatkan pada yang muqayad. Dengan bantuan ayat-ayat lainnya, yang menerangkan masalah legalitas jihad, maka dipahami maksudnya bukan mutlak. Lalu, manakah legalitas jihad itu?

 

Misalnya, satu pihak ingin memerangi Anda atau menghalangi publikasi dakwah dalam arti menolak kebebasan berdakwah, dan kenyataannya dia membuat suatu penghalang. Islam menyerukan agar mendobraknya. Atau mereka berbuat aniaya terhadap satu kaum, maka mereka harus diperangi untuk menyelamatkan kaum yang tertindas. Mengenai hal ini Alquran mengatakan:

 

وَما لَكُمْ لا تُقاتِلُونَ في‏ سَبيلِ اللهِ وَ الْمُسْتَضْعَفينَ مِنَ الرِّجالِ وَ النِّساءِ وَ الْوِلْدانِ

Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik kaum laki-laki, kaum wanita maupun anak-anak..?”. (QS: an-Nisa 75)

 

Harus dikaji setelah menghimpun semua ayat terkait jihad untuk mencapai kesimpulan.

Kembali pada Ahlulkitab bahwa ayat di atas (QS: at-Taubah 29) tidak menyerukan perang kecuali dengan mereka yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan seterusnya. Apakah maksudnya adalah yang mengaku beriman tetapi berdusta? Boleh jadi dikatakan, mengenai kaum Nasrani mereka mengatakan bahwa al-Masih adalah Tuhan atau putra-Nya, atau mengenai kaum Yahudi, apa yang mereka katakan bukanlah tentang Tuhan yang hakiki. Mereka tidak beriman kepada Allah, ketika mengatakan: يَدُ اللهِ مَغْلُولَةٌ; “Tangan Allah terbelenggu.” (QS: al-Maidah 64) Jika demikian, Alquran tidak mengakui keimanan seorang non muslim. Dari sisi apa hal tidak mengakui keimanannya?

 

Dari sisi bahwa terjadi kecacatan dalam keimanan mereka. Nasrani meyakini Tuhan Yang Mahaesa, tetapi pada saat yang sama keyakinan mereka tentang al-Masih dan Maryam mencemari ketauhidan. Sebagian mufasir berpendapat bahwa semua Ahlulkitab yang disebutkan kriterianya dalam ayat itu harus diperangi. Menurut kelompok ini, kata “rasûl” dalam ayat tersebut adalah Rasulullah saw, dan “dîn al-haqq” (agama yang benar) yang dimaksud adalah agama zaman ini yang harus diterima, bukan di zaman tertentu.

 

Berbeda dengan pendapat sebagian mufasir lainnya, bahwa Ahlulkitab terbagi dua golongan; salah satunya ialah mereka yang beriman kepada Allah, hukum-Nya dan hari kiamat. Sedangkan golongan lainnya, sebutan mereka adalah Ahlulkitab. Tetapi keimanan mereka kepada Allah dan hari kiamat, menyimpang, dan mereka tidak mengharamkan apa yang Allah haramkan. Dengan mereka inilah perang diperintahkan!.

(Bersambung)

 

Referensi:

1-Jihad/Syahid Mutahari.

 

Sumber:
www.ikmalonline.com

 

 

 

  • Print

    Send to a friend

    Comment (0)