• Black
  • perak
  • Green
  • Blue
  • merah
  • Orange
  • Violet
  • Golden
  • Nombre de visites :
  • 152
  • 13/4/2017
  • Date :

Hak Asasi: Alami dan Ikhtiyari

Bagi manusia ada dua macam hak yang bisa diperhatikan: yaitu hak-hak alami dan hak-hak yang diperoleh (hak-hak perolehan). Hak-hak alami adalah hak-hak yang sumber dan sandarannya adalah penciptaan spesifik manusia. Hukum-hukum seperti ini tidak perlu kepada pembuatan dan penetapan.

hak asasi: alami dan ikhtiyari

Setiap “Potensi Alami” adalah asas hak alami. Dan penyebab hak-hak seperti ini sama dan serupa bagi semua manusia adalah individu-individu manusia secara fitrah sama sekali tidak lahir ke dunia untuk menguasai yang lain atau diperintah dan patuh kepada yang lain. Dan pembentukan kehidupan manusia adalah alami dan bukan paksaan. Pekerjaan-pekerjaan kedudukan, dan tugas-tugas tidak dibagi berdasarkan penciptaan. Oleh karena itu, hak-hak ini untuk semuanya. Dan individu-individu manusia berdasarkan penciptaannya semuanya memperoleh hak-hak tersebut.

Sebagaimana tidak perlu kepada pembuatan, seseorang juga tidak bisa meniadakan hak-hak tersebut dari orang lain tanpa alasan. Dalam hak-hak ini warna kulit, keturunan, kewanitaan, kepriaan dan semua perbedaan-perbedaan dan keistimewaan tidak berpengaruh dan sama sekali tidak ada perebedaan dengan yang lain. Misalnya hak menuntut ilmu atau hak menikah adalah sesuatu yang sandarannya dengan diri alam dan penciptaan manusia. Dan seseorang yang ingin menetapkan hak ini kepada individu-individu, pada realitasnya dia tidak berbicara baru tetapi dia menyatakan suatu hal yang pasti dan seseorang yang ingin mengingkari hak ini, maka dia melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kaidah dan menentang alam dan penciptaan manusia.

Poin pokok disini adalah menjaga hak-hak alami para individu dan menghormatinya betul-betul suatu keharusan. Oleh karena itu undang-undang dasar dan hukum-hukum perdata harus dibuat berdasarkan hak-hak alami dan fitrah dan tidak boleh sama sekali bertentangan dengannya atau melarangnya. Apabila undang-undang tidak bertentangan dengan dasar-dasar dan prinsip-prinsip infrastruktur -yang sebagian telah kami sebutkan-, maka perbedaan hal-hal tersebut dalam situasi yang berbeda-beda atau perubahan hal-hal itu sepanjang zaman harus dilihat dari perbedaan kondisi zaman dan tempat serta perubahan situasi.

Misalnya mungkin dalam masyarakat supaya urusan-urusan berjalan dengan baik dan supaya semua individu mudah menggunakan hak-hak alaminya dengan sama, maka harus diletakkan batasan-batasan dan ketentuan-ketentuan seperti larangan menikah dengan keluarga, atau pengontrolan kelahiran, atau ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan syarat-syarat akad dan tata cara pendaftarannya, undang-undang pekerjaan, kepemilikan dan lain-lain, mungkin dalam suatu negara dengan suatu bentuk dan di negara lain dengan bentuk yang lain.

Walaupun undang-undang ini dalam kondisi yang sama meliputi semua manusia, mereka dengan sama berhak memperolehnya dan undang-undang itu sendiri yang menentukan pengecualian-pengecualiannya. Sisi lain yang biasanya diperhatikan dalam pembuatan hukum (undang-undang) adalah harus juga menjelaskan tugas benturan hak-hak. Misalnya andaikan seseorang memiliki penyakit tertentu yang menular. Maka selama dia tidak diobati, undang-undang melarangnya menikah. Larangan ini merupakan hak alami. Ini disebabkan karena disaat dia memperoleh hak ini maka sama halnya dengan tercegahnya banyak orang dari bahaya dari sebagian hak-haknya. Oleh karena itu disini untuk menjaga hak-hak yang halal mayoritas dan mencegah mereka dari bahaya, maka hak-hak dan kebebasan-kebebasan satu orang harus dibatasi. Penentuan batasan-batasan ini tanggungjawab hukum dimana disamping hukum menghormati hak-hak dan kebebasan seseorang dan memenuhi lebih banyak hak-haknya, ia juga menjaga hak komunitas.

Dengan kata lain, kita bisa katakan bahwa hukum-hukum parsial dan peringkat kedua terdapat indeks realitas-realitas yang tepat dalam dirinya. Dan pada hakekatnya menjaga dan menjamin hak-hak alami semua penduduk dilihat dari sisi kondisi-kondisi khusus zaman dan tempat.

Sekarang pertanyaannya adalah terlepas dari ciri-ciri alami dan kebutuhan-kebutuhan manusia dari satu sisi, dan tuntutan-tuntutan yang ditimbulkan oleh kehidupan sosial dari sisi lain, apakah juga ada faktor lain yang berpengaruh dalam pembuatan undang-undang ataukah tidak? Berkenaan dengan ini, harus dikatakan bahwa Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Tinggi menciptakan manusia dengan tujuan. Dan pembahasan pendahuluan-pendahuluan yang merupakan keharusan hal ini, Allah meletakkan dalam diri manusia dengan bentuk naluri, misalnya untuk tujuan kelanggengan keturunan, maka rasa kebutuhan untuk menikah dan juga kecintaan kepada anak ada dalam keberadaan individu-individu. Dan kita juga dalam pembuatan undang-undang tidak boleh bertentangan dengan ideal dan tujuan dimana kelanggengan keturunan manusia akan menghadapi bahaya. Pekerjaan seperti membuat undang-undang pembentukan keluarga melalui dua orang sejenis termasuk seperti ini.

Sebagian tujuan-tujuan harus dipilih oleh manusia sendiri berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dan mereka harus mencarinya dimana perkembangan dan kebahagiaan  individu dan komunitas dalam jaminannya. Undang-undang harus dengan bentuk tidak hanya tidak memperlambat dan tidak menutup jalan peningkatan dan kebahgiaan menusia tetapi juga lebih melicinkan, mempermudah dan lebih menerangkan jalan ini. Yang pasti, neraca pengetahuan manusia dan perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam pandangan-pandangan menyebabkan hukum-hukum yang diletakkan oleh tangan manusia saling berbeda dan terkadang bertentangan.

Sebagian bertanya: Pembahasan ini berhubungan erat dengan pembahasan “Hubungan pandangan dunia dan ideologi” dan dengan kata lain “Hubungan keberadaan-keberadaan dan keharusan-keharusan.” Yaitu apakah “Keharusan-keharusan” (Ketentuan –ketentuan yang berbentuk komposisi) timbul dari realitas-realitas dan berdasarkan atas realitas-realitas? Ini adalah persoalan dasar dimana Marhum Allamah Thabâthabâi dan Marhum Syahid Muthahari dan sebagian yang lain juga mempunyai kajian-kajian dalam bidang ini. Sebagian para ahli tidak menerima dasar ini.

“Keharusan-keharusan” berdasar pada “Keberadaan-keberadaan.” Misalnya manusia memiliki potensi atau kebutuhan yang harus diterima dan penuhi. Kami juga telah katakan disini bahwa hak-hak dan persoalan-persoalan syariat menjawab kebutuhan-kebutuhan dan kondisi-kondisi penciptaan manusia yang tidak bisa ditentang. Namun perlu diperhatikan bahwa tidak bisa setiap “Keharusan” disimpulkan dari setiap “Keberadaan.” Misalnya andaikan apabila diketahui bahwa etnis tertentu dari sisi sebagian kondisi dan kemampuan lebih utama dari etnis yang lain. Dari sini bisa disimpulkan bahwa masing-masing harus mengembangkan sisi potensinya sendiri dan “Hak-hak Perolehan” mereka juga harus diatur berdasarkan neraca kesuksesan dan efisien.

Namun dari perbedaan ini, tidak bisa disimpulkan diskriminasi etnis, karena diskriminasi etnis merupakan pedoman yang kokoh berdasarkan perbedaan substansi (dzat) etnis-etnis. Apabila kita berasumsi bahwa etnis-etnis yang bermacam-macam saling berbeda dalam esensi kemanusiaan, maka kita harus berasumsi bahwa hak-hak dan keistimewaan-keistimewaan alami mereka satu sama lain juga berbeda, namun disaat semua sama dari sudut pandang kemanusiaan, maka hak-hak alami mereka juga satu sama lain sungguh sama. Semua memperoleh hak kebebasan, memilih, belajar, keikutsertaan politik, kesehatan dan lainnnya. Dan harus secara utuh menggunakan potensi-potensi dan hak-hak yang merupakan hak setiap manusia. Maka jika setelah penggunaan yang sama ini mereka memperoleh hasil-hasil yang berbeda-beda, maka setiap orang harus berada pada posisinya yang layak dan berperan sesuai dengan kemampuan-kemampuan mereka di masyarakat.

Sebagian bertanya: Dari sudut pandang hak-hak alami diantara semua manusia adalah sama. Dan perbedaan-perbedaan individu atau etnis dan semacamnya sama sekali tidak mempengaruhi dalam sisi ini. Namun “Hak-hak Perolehan” karena bergantung pada potensi-potensi, usaha-usaha dan kondisi para individu, maka tentunya tidak akan sama. Sekarang dalam persoalan ini tidak ada ikatan persamaan, apakah ada prinsip tertentu yang bisa dijadikan dasar dan standar hak-hak perolehan? Dalam menjawab harus dikatakan bahwa standarnya adalah aktualisasi potensi-pontensi itu sendiri.

Andaikan jika seseorang dalam bidang keilmuan atau dari sisi kemampuan menejeman dan kepemimpinan atau dari kemampuan fisik memperoleh kelayakan-kelayakan yang baik, atau sangat rajin bekerja dan berusaha, maka individu ini harus berada pada kedudukan yang sesuai bagi dirinya, sehingga sebisa mungkin kemampuan-kemampuan para individu tidak sia-sia dan terhambat.

Standar lainnya adalah seseorang yang menggunakan hak-haknya tidak boleh membahayakan orang-orang lain dan menginjak hak mereka. Bahkan tidak boleh membahayakan dirinya sendiri. Dan juga tidak boleh menyebabkan kekacauan dan bencana dalam sistem masyarakat dan tidak boleh bertentangan dan berbenturan dengan semua prinsip-prinsip dan neraca-neraca kemanusiaan. Semua standar-standar ini bisa disimpulkan dalam prinsip keadilan. Yaitu hak sama sekali tidak boleh bertentangan dengan necara-necara keadilan.

Apabila menggunakan hak dengan dalil apapun menyebabkan kezaliman, maka menyebabkan tidak adanya hak dan pada akhirnya menyebabkan jatuhnya hak. Dan setiap pria dan perempuan yang ingin melanggar orang lain dengan penggunaan hak dirinya, maka pekerjaan ini tidak boleh dan tidak halal. Dan penyalahgunaan hak adalah dilarang.

Sumber:
www.studisyiah.com

  • Print

    Send to a friend

    Comment (0)