• Black
  • perak
  • Green
  • Blue
  • merah
  • Orange
  • Violet
  • Golden
  • Nombre de visites :
  • 146
  • 12/4/2017
  • Date :

Asas Fitrah antara Statis dan Dinamis

Islam, yakni jalan fitrah dan jalur tabiat, adalah jalan kehidupan yang hakiki bagi umat manusia. Jalan hakiki ini tidak akan berubah hanya karena perubahan situasi dan kondisi hidup. Kebutuhan dan tuntutan-tuntutan fitrah adalah kebutuhan dan tuntutan hakiki manusia.

asas fitrah antara statis dan dinamis

Sejenak saja kita merujuk perkembangan dunia dan pencapaiannya di era modern ini, apakah dapat dipercaya bahwa Islam mampu mengelola tata kehidupan umat manusia dan memenuhi segala hal yang dibutuhkan? Bukankah berkat pencapaian ilmu pengetahuan umat manusia, kini mereka telah mampu menjelajahi ruang angkasa dan meneliti benda-benda langit di sana? Apakah masih belum saatnya manusia diperkenankan untuk meninggalkan agama dan ajaran-ajaran kunonya? Mengapa manusia tidak dibiarkan untuk memilih cara baru dalam menikmati hidupnya yang berharga ini? Mengapa agama mencegah manusia dari memfokuskan pikiran dalam rangka mengembangkan penemuan-penemuan yang begitu spektakuler ini?

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, kiranya perlu saya jelaskan beberapa permasalahan. Memang benar, kita lebih menyukai hal-hal yang baru daripada yang lama. Kita selalu mendahulukan apa saja yang bersifat baru dari segala hal yang sudah lama. Tapi sangat perlu diingat pula di sini, bahwa pola pikir seperti ini [pertimbangan antara lama dan baru] tidak selamanya benar dan tidak dapat diaplikasikan di segala kasus. Contohnya, sejak ribuan tahun yang lalu, semua orang masih dan senantiasa yakin bahwa satu ditambah satu adalah dua, dan kita tidak bisa mengklaim bahwa mereka telah memiliki keyakinan yang sudah kuno sehinga harus ditinggalkan. Kita juga tidak bisa menyatakan bahwa kehidupan sosial yang telah dijalani umat manusia sejak dahulu kala sudah tak layak lagi dijalani; kita harus memulai hidup baru dengan cara hidup menyendiri. Kita tidak bisa berpikiran seperti itu. Kita tidak bisa menghukumi bahwa kepatuhan pada peraturan sosial — yang selalu membatasi kebebasan manusia — adalah model kehidupan yang sudah usang, ketinggalan zaman, dan semua orang telah dibuat letih olehnya. Kita tidak bisa menyatakan bahwa di zaman seperti ini, manusia sudah mampu melintas ke angkasa raya dengan menggunakan jet-jet luar angkasa yang supercanggih lalu berkeliling di sekitar orbit benda-benda langit dan sibuk meniliti keadaan dan perubahan alam; di zaman ini manusia harus membuka jalan baru dan membebaskan diri dari belenggu aturan-aturan sosial yang menjemukan.

Tak perlu dijelaskan betapa konyolnya pernyataan seperti ini; sungguh tak berdasar dan memalukan. Pada dasarnya, isu baru dan lamanya sesuatu layak diperkarakan seperti ini jika memang sesuatu tersebut punya potensi untuk mengalami perubahan. Jika sesuatu tersebut punya potensi untuk berubah, baru kita bisa menyatakan bahwa pada suatu saat, sesuatu tersebut masih dapat dikatakan baru; dan kelak—karena satu dan lain hal—sesuatu tersebut akan menjadi barang lama.

Oleh karena itu, kita tidak layak memperkarakan; apakah Islam bersifat baru atau lama. Karena, Islam adalah sistem yang sudah menjadi kelaziman tata cipta alam semesta.  “Apakah Islam mampu mengelola tata kehidupan umat manusia di zaman yang serba canggih ini?” adalah salah satu dari sekian pertanyaan yang telah mengkaitkan isu ‘baru dan lama’ dengan Islam. Di sini kita tidak patut menyinggung isu ini, karena setiap sesuatu punya masa dan tempatnya masing-masing.

Adapun pertanyaan “apakah Islam mampu mengelola kehidupan manusia di zaman seperti ini?”, adalah pertanyaan yang tak jarang lagi terdengar. Dengan memahami makna hakiki Islam sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Al-Quran, kita pasti akan sangat terkesima. Dalam kitab suci ini, Islam adalah sebuah jalan yang telah ditunjukkan oleh fitrah dan kodrat manusiai serta alam kepada diri kita. Yakni, Islam adalah sistem hukum dan peraturan yang sangat sesuai dengan kodrat khas manusia. Islam sangat relevan dengan kodrat dan fitrah manusiawi kita. Islam adalah sebuah agama yang mampu memenuhi segala kebutuhan hakiki — bukan kebutuhan yang timbul dari tuntutan hawa nafsu dan emosi — yang dirasakan para pemeluknya.

Secara jelas kita dapat memahami bahwa kodrat dan fitrah manusia, selama ia sebagai manusia, wujudnya adalah wujud dasarnya; sebagaimana adanya, dan sepanjang masa tidak akan pernah berubah. Di manapun manusia berada, kapanpun ia menjalani hidupnya, dan dengan pola apa pun ia tinggal di dunia, senantiasa fitrah ada di dalam wujudnya. Kodrat dan fitrah ini akan selalu menunjukkan jalan kebenaran kepada manusia; entah ia mau menempuhnya ataukah tidak.

Dengan penjelasan ini, dapat kita katakan bahwa makna pertanyaan di atas adalah demikian ini, “Apakah ketika manusia mau menempuh jalan yang telah ditunjukkan kepadanya oleh fitrah dan kodrat ciptaannya, ia akan mencapai prestasi alamiahnya? Apakah manusia akan meraih cita-cita fitriahnya? Misalnya, jika ada sebatang pohon yang sedang menempuh jalur perjalanan nabati yang telah ditunjukkan oleh kodrat nabati kepadanya, apakah ia akan berhasil mencapai titik tujuan alamiah nabatinya?” Tak diragukan lagi, pertanyaan seperti ini ibarat memasang tanda tanya di hadapan sebuah realita yang cukup jelas. Gamblang sekali bahwa pertanyaan seperti ini muncul dari seseorang yang meragukan suatu permasalahan yang tak semestinya ia ragukan.

Islam, yakni jalan fitrah dan jalur tabiat, adalah jalan kehidupan yang hakiki bagi umat manusia. Jalan hakiki ini tidak akan berubah hanya karena perubahan situasi dan kondisi hidup. Kebutuhan dan tuntutan-tuntutan fitrah adalah kebutuhan dan tuntutan hakiki manusia. Tujuan tertinggi fitrah adalah tujuan hakiki yang tertinggi bagi manusia. Allah Swt pernah berfirman yang kandungannya adalah sebagai berikut:

“Dengan teguh dan dalam keadaan yang patut, menghadaplah ke arah agama ini! Yakni fitrah dan bentuk penciptaan yang mana umat manusia tercipta atas dasar hal itu. Tidak ada perubahan dalam penciptaan Tuhan. Itulah agama yang penegak [kehidupan]” (QS. Al-Rum: 30).

Permasalahan ini dapat dijelaskan dengan singkat seperti berikut: sebagaimana yang sering kita saksikan, banyak sekali maujud yang berada di alam semesta ini. Setiap maujud memiliki pola hidup khusus dan mempunyai jalur perjalanan hidup tersendiri. Setiap maujud dalam jalur perjalanan hidupnya bergerak menuju suatu tujuan dan titik persinggahan akhir. Suatu kesuksesan yang dapat membahagiakan mereka adalah sampainya diri mereka ke tujuan yang mereka inginkan tanpa harus berhadapan dengan kendala apa pun.

Dengan penjelasan lain, setiap maujud ingin menjalani hidupnya dengan aman dan berjalan di jalur perjalanan hidup alamiahnya — yang telah ditunjukkan oleh tabiat dan fitrahnya sendiri kepadanya — dengan nyaman sehingga dapat mencapai tujuan hakiki yang sebenarnya.

Cotohnya, sebuah maujud yang bernama biji gandum, memiliki jalur perjalanan nabati alami dalam pertumbuhannya. Atas tabiat alamiahnya, biji gandum menyerap zat-zat berguna dari dalam tanah lalu memanfaatkannya dengan baik. Ibaratnya, tabiat biji gandum adalah secercah cahaya yang selalu mengarahkan biji gandum untuk tumbuh dan berkembang secara baik guna mencapai kesempurnaannya.

Biji gandum yang memiliki jalur kehidupan nabati tersendiri tidak mungkin mengubah jalan pertumbuhannya lalu melangkahkan “kedua kakinya” di jalur perjalanan pertumbuhan hewani. Tak mungkin sepasang sayap dan paruh mungil akan muncul darinya lalu berubah menjadi seekor burung yang mampu mengepakkan sayap dan terbang bebas di angkasa. Ia tidak akan melangkahkan kedua kakinya di jalur pertumbuhan nabati pohon apel. Ia tidak mungkin menumbukan batang pohon apel yang tinggi dan juga ranting dan dedaunannya yang lebat dan hijau. Biji gandum tidak akan mengembangkan bunga dan menghasilkan buah apel. Sesungguhnya setiap maujud memiliki hukum seperti ini.

Begitu juga manusia; memiliki jalur kehidupan manusiai yang alamiah dan sebuah tujuan mulia yang berupa kebahagiaan dan kesempurnaan hakiki. Ia memiliki sesuatu yang bernama fitrah. Fitrah inilah yang selalu menunjukkan jalan kehidupan yang benar kepada manusia; jalan yang akan menghantarkan manusia menuju kesempurnaan dan kebaikan yang sebenarnya. Allah SWT berfirman:

Tuhan adalah dzat yang telah menciptakan segala sesuatu lalu memberinya hidayah.” (QS. Thaha: 50). 

Mengenai hidayah yang diberikan kepada manusia, Allah SWT berfirman:

"Demi jiwa dan dzat yang telah menciptanya. Lalu Ia memahamkan kebaikan dan keburukan kepadanya. Sungguh beruntung orang yang mensucikannya. Dan sungguh merugi orang-orang yang mengkotorinya.” (QS. Al-Syams: 7-10) 

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa jalur perjalanan hayati manusiawi yang akan menghantarkan umat manusia kepada kesempurnaan dan kebahagiaan hakikinya adalah jalan yang telah ditunjukkan oleh fitrah dan tabiat alami kepada diri manusia sendiri. Perlu diketahui bahwa jalan tersebut adalah jalan yang telah dibangun berdasarkan tuntutan dan kemaslahatan penciptaan alam semesta dan diri manusia. Jalan fitrah adalah jalan yang benar; entah jalan tersebut sesuai dengan tuntutan nafsu ataukah tidak. Karena sebenarnya, nafsu, amarah dan emosi yang seharusnya mengikuti fitrah manusia dan taat kepadanya; bukan malah sebaliknya, fitrah harus tunduk di hadapan nafsu, amarah dan emosi.

Dengan demikian masyarakat dunia seharusnya dibangun atas dasar fitrah; bukannya berdasarkan khayalan dan angan-angan nafsu yang selalu menipu. Di sinilah perbedaan antara aturan-aturan Islam dengan aturan-aturan yang lain menjadi tampak jelas. Aturan-aturan sosial biasa tidak diciptakan atas dasar fitrah manusia; aturan-aturan tersebut dijalankan atas dasar suara mayoritas (lima puluh satu persen) orang-orang. Lain halnya dengan aturan-aturan Islam. Islam dan aturan-aturannya diciptakan berdasarkan fitrah suci manusiawi. Hal ini menunjukkan bahwa Allah Swt adalah sang pencipta yang telah menciptakan Islam dan aturan-aturannya. Sebagaimana yang telah difirmankan dalam ayat-ayat ini:

Sesungguhnya hukum adalah milik Allah.” (QS. Yusuf: 40) 

Bagi orang-orang yang beriman, siapakah yang lebih baik dari Allah dalam memberikan hukum?” (QS. Al-Maidah: 50) 

Kini aturan-aturan sosial yang telah dijalankan atas dasar pendapat mayoritas masyarakat atau keinginan seorang diktator telah menjadi aturan resmi masyarakat dunia; baik aturan-aturan tersebut sesuai dengan kebenaran dan kemas-lahatan bersama atau tidak. Akan tetapi bagi komunitas masyarakat Islam yang hakiki, hukum dan aturan-aturan kehidupan hanya dapat diolah dan ditentukan oleh Tuhan.

Di sini kita bisa menjawab sebuah syubhat yang lain. Syubhat tersebut adalah sebuah pertanyaan yang kandungannya seperti ini: “Islam tidak sesuai dengan kondisi masyarakat dunia zaman ini. Masyarakat dunia kini telah merasakan kebebasan yang sungguh luar biasa. Dengan demikian, bagaimana mungkin mereka rela membelenggu diri sendiri dengan cara memeluk agama Islam?”

Memang jika kita perhatikan kehidupan umat manusia di zaman ini yang telah bergelimang nista dan keburukan moral yang sangat membahayakan, lalu kita bayangkan Islam disejajarkan dengan bentuk kehidupan semacam ini, maka jelas tidak ada kesesuaian antara agama Islam yang terang benderang dan bercahaya dengan kehidupan umat manusia yang kini diselimuti kegelapan tebal. Dalam kondisi seperti ini, janganlah kita berharap Islam akan memainkan perannya. Karena kini hanya sebagian hukum-hukum Islam saja yang dijalankan di dunia. Harapan serupa tak ubahnya dengan harapan seorang warga negara yang hidup di tengah-tengah pemerintahan diktator tetapi ia selalu berangan-angan untuk merasakan nikmatnya hidup di negara demokratis. Atau juga seperti harapan seorang pasien yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit dan selalu berharap untuk dapat menikmati kesehatannya seperti semula, meskipun ia tak berusaha sedikitpun untuk mendapatkan kesehatan tersebut dan hanya merasa cukup dengan ditulisnya resep oleh bapak dokter tanpa berusaha melakukan apa yang dianjurkan.

Coba jika kita mengamati betapa sucinya fitrah manusia, lalu kita hadapkan dengan Islam, yakni agama fitri, maka kita akan melihat betapa sesuainya agama ini dengan fitrah alami manusia! Fitrah telah memilih Islam untuk manusia dan menyatakan bahwa tidak ada jalan kehidupan terbaik selain Islam. Jika memang demikian, bagaimana mungkin Islam tidak cocok dengan fitrah manusia!

Sangat disesalkan sekali, kini fitrah manusia telah ternoda akibat kejahatan dan dosa yang telah dilakukan manusia itu sendiri. Kini fitah telah melemah dan susah mengenal jalan fitri yang seharusnya ia kenal dengan baik. Tetapi ada sebuah jalan keluar yang rasional untuk permasalahan ini. Kita harus gigih berjuang melawan keadaan sehingga kesempatan untuk berubah tetap terbuka lebar. Kita tidak boleh putus asa dalam mencapai kesempurnaan manusiai. Tak seharusnya kita malah mengucilkan fitrah yang sudah melemah ini lalu membiarkannya begitu saja tanpa kita pedulikan. Sejarah telah menjadi saksi mata keberhasilan cara ini. Menurut kesaksiannya, setiap perubahan yang berlangsung di muka bumi ini pada awalnya sangat susah; sering terjadi pertentangan — tak jarang juga pertentangan ini menyebabkan pertumpahan darah — antara hal yang baru dengan yang lama. Tak lama setelah tarik ulur dan pertikaian terjadi, secara bertahap akhirnya masyarakat dapat menerima perubahan tersebut dan melupakan masa silam mereka yang buruk.

Sistem pemerintahan demokratis, misalnya, yang menurut sebagian orang adalah sistem pemerintahan yang terbaik — karena sistem ini adalah sistem kedaulatan rakyat — tidaklah berdiri semudah yang kita bayangkan. Setelah tragedi berdarah di Perancis dan beberapa negara lain terjadi, lambat laun demokrasi dapat dijalankan. Begitu juga ideologi Komunisme; orang-orang komunis tega membunuh puluhan juta manusia di negara-negara besar dunia seperti: Rusia, termasuk di beberapa negara Asia, Eropa, dan Amerika Latin, hanya demi penerapan ideologi ini.

Ternyata telah terbukti bahwa keengganan masyarakat untuk menerima sebuah perubahan tidak menjadi dalil kemustahilan terjadinya perubahan tersebut. Islam lebih dari hal ini. Islam adalah agama yang “hidup” dan layak dipeluk oleh semua kalangan masyarakat 

Referensi:

(dari Islam va Inson-e Mu’asir, cet. Majma’ Jahani Ahlul Bait, Qom, 1379 HS).

 

Sumber:
www.studisyiah.com

  • Print

    Send to a friend

    Comment (0)