• Black
  • perak
  • Green
  • Blue
  • merah
  • Orange
  • Violet
  • Golden
  • Nombre de visites :
  • 112
  • 10/4/2017
  • Date :

Kaidah “Lâ Tu’âd”: Tak Usah Mengulang Shalat

Tidaklah batal shalat orang yang meninggalkan bagian dan syaratnya, kecuali yang merupakan ruku’, sujud, kesucian dari hadats, kiblat dan waktu. Satu saja yang terlewati di antara lima perkara ini, maka shalatnya menjadi batal, sekalipun lantaran lupa atau jahl (tidak tahu).

kaidah “lâ tu’âd”: tak usah mengulang shalat

Ilmu fikih lahir pada waktunya. Jarak waktu yang jauh dari masa tasyri’ (perundang-undangan, yakni kehadiran seorang ma’shum) menjadi faktor kesamaran sebagian hukum syar’i. Maka harus ada sebuah solusi untuk itu, hingga pada akhirnya lahirlah sebuah pengetahuan tentang hukum, yang disebut dengan ilmu fikih. Ialah ilmu istinbath, pengetahuan menggali hukum syar’i melalui sumber-sumbernya.

Berkat usaha keras ulama dan para pakar hukum Islam, Ilmu ini kemudian berkembang dan terus berkembang, hingga lahir darinya cabang-cabang ilmu, seperti al-fiqh al-istidlali (fikih argumentatif), al-qawaid al-fiqhiyah (kaidah-kaidah fikih), ushul al-fiqh (logika fikih) dan lainnya. Setiap cabang darinya memiliki definisi yang membedakan satu dengan lainnya.

Yang ingin penulis ketengahkan di sini, ialah mengenai sebuah kaidah fikih di antara kaidah-kaidah lainnya terkait dengan masalah shalat, yang disebut dengan “qâ’idatu lâ tu’âd” (kaidah tak usah diulangi). Maksudnya, tidaklah batal shalat orang yang meninggalkan bagian dan syarat shalat, kecuali yang merupakan rukun sahnya shalat seperti ruku’, sujud, kesucian dari hadats, kiblat dan waktu. Satu saja yang terlewati di antara lima perkara ini, maka shalatnya menjadi batal, sekalipun lantaran lupa atau jahl (tidak tahu).

Dapat dikatakan, jika ikhlâl (hal terlewatkan) itu dari salah satu rukun shalat, maka shalatnya batal. Penjelasan ini akan mengundang tanya, yang nanti akan dijawab di tempatnya, yaitu bahwa takbir dan qiyam juga merupakan rukun shalat, kenapa tidak disebutkan (tidak termasuk lima perkara tersebut)?

 

Lisensi Kaidah “Lâ Tu’âd”

Pengkajian tentang kaidah ini disebutkan dalam kitab “Durus at-Tamhidiyah fi al-Qawaid al-Fiqhiyah” karya Syaikh Baqir al-Irwani, mencakup duabelas poin. Dalam ruang ini, akan penulis bawakan sebagian poin darinya, dan di bagian ini adalah poin yang kedua setelah disampaikan poin yang pertama di atas sebagai mukadimah artikel ini, yaitu mengenai makna kaidah “lâ tu’âd”.

Lisensi bagi kaidah ini adalah shahihah (riwayat sahih) Zurarah dari Abu Ja’far (Imam Baqir) dan yang diriwayatkan di dalam kitab-kitab hadis berikut ini:

1-Dalam “al-Khishâl”, Syaikh Shaduq meriwayatkan dari ayahnya dari Sa’d dari Ahmad bin Muhammad dari Husein bin Sa’id dari Hammad bin Isa dari Hariz dari Zurarah dari Abu Ja’far (Imam Baqir): “Tak usah diulangi shalat kecuali (lantaran) lima perkara; kesucian, waktu, kiblat, ruku’ dan sujud.” Kemudian beliau menambahkan, “Bacaan itu sunnah, tasyahud itu sunnah dan takbir itu sunnah. Yang sunnah itu tidak membatalkan yang wajib.” (al-Wasail, bab 1, hadis 14).

2-Dalam “al-Faqih” (1/255) juga dia bawakan riwayat Zurarah dari Abu Ja’far dengan teks yang sama, tapi tak ada kalimat “takbir itu sunnah”.

3-Dalam “at-Tahdzib” (2/152), Syaikh Thusi pun menyampaikan riwayat yang sama teksnya dengan yang di dalam kitab al-Faqih.

Sebagai catatan, sanad riwayat tersebut sahih. Kendati melalui jalur Syaikh Thusi perlu dikaji (qâbilah at-ta`ammul), tetapi dengan dua jalur Syakh Shaduq riwayat tersebut mu’tabar (diakui).

Dikatakan qâbilah at-ta`ammul, karena jajur yang disebutkan Syaikh Thusi sampai Zurarah di dalam Fihrist berpapasan dengan Ibnu Abu Umair dari sebagai sahabatnya, dengan mengatakan: “Dikabarkan kepada kami oleh Ibnu Abi Jayid dari Ibnul Walid dari Sa’d bin Abdullah dan Himyari dari Ahmad bin Abu Abdillah al-Barqi dari ayahnya dari Ibnu Abi Umar dari sebagian sahabatnya darinya (Zurarah)..”

Selain itu, Zurarah tidak hanya memiliki satu kitab, yaitu kitab “al-Istitha’ah wa al-Jabr”. Sementara Syaikh Thusi ketika menyebutkan jalurnya di dalam Fihrist sampai Zurarah, menyebutkan jalurnya sampai pada kitab tersebut. Jauh kemungkingan riwayat itu ada di dalamnya. Oleh karenanya, riwayat itu mursalah.

Adapun jalur kitab al-Khishal karya Syaikh Shaduq adalah jelas. Karena ketsiqahan Shaduq dan ayahnya “lebih jelas dari matahari”. Mengenai Sa’d (yang ia sebut) adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Najasyi: “Guru (syaikh) kaum ini, faqih dan pemuka mereka.”

Alhasil cukup kuat riwayat itu bagi kita karena sahih salah satu jalurnya.

 

Penjelasan Ringkas tentang Sunnah dan Farîdhah

Di dalam riwayat tersebut terdapat dua kata; “Sunnah” dan “Farîdhah”. Sunnah yang dimaksud ialah apa yang disyariatkan dan disunnahkan oleh Rasulullah saw, sedangkan faridhah adalah yang disyariatkan dan diwajibkan oleh Allah swt. Dengan demikian, ruku dan lainnya (lima yang disebutkan di atas) adalah kewajiban yang diharuskan oleh Allah swt. Maka, kekurangan terkait dengan apa yang Allah wajibkan itu menjadikan shalat seseorang batal.

Sedangkan bagian-bagian shalat adalah yang merupakan sunnah Rasulullah saw, kekurangan dalam bagian ini tidak membatalkan shalat, dan tidak mempengaruhi sahnya apa yang Allah wajibkan itu.

Di dalam “al-Kafi” karya Syaikh Kulaini terdapat satu bab di bawah tema “at-Tafwidh ila Rasulillah wa ila al-Aimmah fi Amri ad-Din” (Penyerahan kepada Rasulullah dan Para Imam dalam Urusan Agama), menunjukkan ketetapan otoritas tasyri’iyah bagi Rasulullah saw.

Demikian mengenai dua poin dari kaidah “lâ tu’âd”, yaitu makna dan dasarnya, dan akan dilanjutkan tentang poin-poin lainnya -insya Allah.

 

Referensi:

-Durus Tamhidiyah fi al-Qawaid al-Fiqhiyah/ Syaikh Baqir al-Irwani

 

Sumber:
www.ikmalonline.com

  • Print

    Send to a friend

    Comment (0)