• Black
  • perak
  • Green
  • Blue
  • merah
  • Orange
  • Violet
  • Golden
  • Nombre de visites :
  • 119
  • 3/4/2017
  • Date :

Cakrawala Iman (2): Argumen Fitrah

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu." (QS. ar-Rum [21]: 30).

cakrawala iman (2): argumen fitrah

Abstraksi

Telah kami singgung sebelumnya bahwa salah satu metode mengenal Tuhan adalah pengenalan melalui hati dan kalbu. Tahapan general serta langkah pertama dari metode ini termanifestasi dalam pencarian dan pengenalan secara fitri akan eksistensi Tuhan yang biasa disebut juga dengan jalan fitrah, dan kelanjutan dari tahapan ini adalah seir-suluk (pelancongan) irfani yang biasanya hanya terfokus pada kelompok para arif yaitu mereka yang menyaksikan sifat Jalâl dan Jamâl Tuhan dengan mata hati melalui ibadah dan tazkiyatun nafs.

Dalam pembahasan kali ini kami bermaksud menyajikan uraian singkat jalan tersebut, akan tetapi sebelumnya kami akan mengetengahkan beberapa poin penting berikut:

 

1. Definisi Fitrah

Fitrah berasal dari kata dasar fatr yang berarti menyingkap sesuatu dari sisi panjangnya, selanjutnya kata ini dipergunakan dalam kaitannya dengan segala kegiatan menyingkap atau membuka. Dengan memperhatikan bahwa arti penciptaan adalah menyingkap tirai dari ketiadaan menuju keberadaan, maka salah satu dari makna fatr adalah mencipta dan membuat. Atas dasar inilah, fitrah (yang merupakan kata dasar ber-wazn fi'lah dan menunjukkan pada jenis dan kualitas kerja) mempunyai arti:  metode khusus penciptaan.

        Dengan memperhatikan makna di atas, ketika pembahasan berkisar pada persoalan fitrah, maka yang dimaksud di sini adalah karakter dan penciptaan Nya yang khas, yang mempunyai kelaziman dan keadaan khas pula. Pada dasarnya, para periset Islam mempergunakan istilah fitrah (dengan makna di atas) dengan mendapatkan ilham dari al-Quranul Karim, yang berfirman:

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu." (QS. ar-Rum [21]: 30).

        Ringkasnya, dalam pandangan Islam, Tuhan meletakkan kecenderungan dan visi Nya yang khas bersama penciptaan manusia dan membaurkannya dengan wujud Nya. Kecenderungan dan visi ini merupakan hal-hal fitri yang mempunyai cakupan teramat luas, akan tetapi pada pembahasan kali ini kami hanya mengkhususkan pada salah satu visi fitrah tersebut yaitu pembenaran eksistensi dan wujud Tuhan, yang disebut Pencarian Tuhan.[1]

 

2. Penegasan Pencarian Tuhan secara Fitrah

        Setelah mengetahui makna fitrah, kami akan sedikit berbicara tentang makna pencarian Tuhan. Dan pertanyaan mendasar dalam kaitannya dengan masalah ini adalah apa yang dimaksud dengan keyakinan yang fitri terhadap eksistensi Tuhan? Tentu saja, terdapat begitu banyak pendapat yang muncul untuk jawaban  pertanyaan tersebut, dan yang terpenting di antaranya adalah:

Proposisi "Tuhan ada" merupakan sebuah proposisi yang a- self evident (gamblang, badihi, tak perlu penjelasan) dalam tingkatan yang paling awal.

Menurut pendapat ini, maksud dari kefitrian pengetahuan terhadap eksistensi Tuhan adalah bahwa proposisi "Tuhan ada" merupakan sebuah kegamblangan yang paling mendasar (aksioma awal, principles premiers).

Kita ketahui, dalam ilmu logika proposisi badihi terbagi dalam beberapa kelompok, yang salah satunya adalah badihi awal ini. Badihi awal adalah pembenaran terhadap sebuah proposisi tanpa memperhatikan subyek, predikat serta keterkaitan antara keduanya, sebuah pembenaran yang tidak membutuhkan konsepsi (gambaran) maupun assensi (persetujuan). Proposisi semacam "Universal lebih besar dari partikular", "Bersatunya dua hal kontradiktif adalah mustahil" merupakan proposisi-proposisi dari badihi awal. Berdasarkan interpretasi ini, maka jelas, kefitrian pencarian Tuhan dalam proposisi "Tuhan ada" merupakan badihi awal dan merupakan kegamblangan pada tingkatan paling dasar.[2]

Proposisi "Tuhan ada" merupakan proposisi yang fitri dan logis.

Satu lagi bagian dari badihi awal adalah "Proposisi Fitrah", yang dalam istilah para logikawan dikatakan sebagai sebuah proposisi yang pembenarannya bergantung pada kebenaran argumen, dimana dengan hanya memberikan perhatian terhadapnya, argumen akan hadir pula dalam benak kita. Sebagian dari proposisi dalam ilmu Matematika seperti "Dua adalah setengah dari empat" merupakan contoh dari proposisi ini.

Berdasarkan pendapat kedua ini, maksud dari  keyakinan yang fitri terhadap eksistensi Tuhan adalah bahwa  hanya dengan memberikan perhatian terhadap proposisi "Tuhan ada", argumennya akan seketika hadir pula di dalam benak kita dan serta merta mendapatkan pembenaran. Argumen ini bisa muncul dalam bentuk prinsip "Kebutuhan kontingen-kontingen (mumkinât) terhadap wâjib al wujud" atau hal-hal semacamnya.

Walhasil, yang dimaksud dengan kefitrian pencarian Tuhan dalam intepretasi kedua ini adalah bahwa wujud dan eksistensi Tuhan mempunyai argumen yang sangat jelas dimana hanya dengan memberikan sedikit perhatian saja, hal tersebut telah bisa hadir di dalam benak kita dan berdasarkan hal tersebut manusia telah mampu memahami keberadaan Nya.

Sebelum kehadiran manusia ke dunia, Tuhan telah memperkenalkan diri Nya kepada manusia.

Berdasarkan intepretasi ketiga dikatakan, sebelum memasuki alam natural, manusia menempati sebuah alam lain dimana di alam tersebut Tuhan telah memperkenalkan dirinya di hadapan manusia dengan segala sifat Jalâl dan Jamâl-Nya dan pada dimensi-dimensi ruhani dan maknawi selanjutnya seluruh manusia membenarkan wujud dan eksistensi Nya sebagai Penguasa dan Pencipta alam. Tentu saja setelah manusia menginjakkan kakinya ke dunia natural, mereka lupa terhadap hal-hal kecil dan partikular dari berbagai dimensi maknawi dan ruhani tersebut, akan tetapi pondasi makrifat dan pengetahuan akan eksistensi Tuhan tetap tersimpan dengan baik.

Para pendukung intepretasi ini mencoba mendekatkan kefitrahan pencarian Tuhan dengan beberapa ayat dan riwayat, yang salah satu di antaranya adalah ayat yang terkenal dengan sebutan ayat "mitsâq"

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi", (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan Tuhan)" (QS. Al-A'raaf [8]: 172)[3]

Seluruh manusia mengenal Tuhan dengan pengetahuan dan ilmu hudhuri-nya

Berdasarkan pendapat ini kefitrahan pencarian Tuhan bermakna pengetahuan hudhuri (presentif) manusia terhadap Tuhan sebagai Penciptanya. Untuk menjelaskan pendapat ini, kita perlu mengetahui perbedaan antara ilmu hudhuri (presentif) dan ilmu hushuli (acquired knowledge, pencapaian).

Berdasarkan sebuah klasifikasi umum, ilmu manusia terbagi dalam dua kelompok yaitu ilmu hudhuri dan ilmu hushuli. Ilmu hushuli adalah ilmu yang dihasilkan melalui metode pemahaman dan gambaran dalam benak, dengan arti bahwa dengan menghasilkan gambaran sesuatu di dalam benak, kita akan mampu memahami sesuatu tersebut, akan tetapi dalam ilmu hudhuri, gambaran atau mafhum benak sama sekali tidak memiliki peran di dalamnya, melainkan sesuatu yang telah maklum dan jelas-lah yang secara sendirinya hadir pada sang alim. Perbedaan lainnya adalah dalam ilmu hushuli terdapat kemungkinan terjadinya kesalahan akan tetapi dalam ilmu hudhuri, dikarenakan yang hadir pada sang alim adalah maklum dan kejelasan itu sendiri (bukannya gambaran benak) maka sama sekali tidak akan terjadi kesalahan padanya.  

Dengan memperhatikan penjelasan di atas, bisa dikatakan, tafsiran akhir dari kefitrahan pencarian Tuhan adalah bahwa manusia dalam kedalaman jiwanya mempunyai pengetahuan hudhuri terhadap keberadaan Tuhan, sebuah pengetahuan yang tidak dihasilkan melalui pemahaman dan argumentasi akal melainkan parameternya adalah kebergantungan wujud manusia kepada Tuhan.[4] Berdasarkan makrifat dan pengetahuan ini manusia yang cerdas akan menemukan Tuhan di dalam dirinya dan dia bisa menyaksikan-Nya dengan mata hatinya. Di sini tidak ada lagi pembicaraan tentang gambaran mafhum Tuhan ataupun pembenaran proposisi "Tuhan ada" –yang kesemuanya muncul dari pengetahuan hushuli (acquired knowledge) – melainkan  yang terjadi adalah penyaksian dan perolehan.

 Berbagai tafsiran dan intepretasi tentang kefitrahan pencarian Tuhan pada pembahasan di atas, dengan segala perbedaannya yang ada[5] mempunyai kesamaan dalam satu hal berikut yaitu manusia mengetahui bahwa makrifat dan pengetahuannya terhadap wujud, keberadaan dan eksistensi Tuhan tidak butuh pada argumen-argumen akal yang rumit, dari dalam diri manusia sendiri terdapat jalan untuk mengenal keberadaan-Nya dan bisa jadi dari sinilah sehingga al-Quran al-Karim mengatakan bahwa prinsip keberadaan Tuhan merupakan sebuah persoalan yang begitu gamblang dan pembelajaran untuk mengenal-Nya biasanya difokuskan berdasarkan pada tolak ukur sifat-sifat dan aktivitas Ilahi.

Pada akhir pembahasan, ada baiknya apabila sekali lagi kami mengetengahkan point-point berikut:

1.       Kefitrahan keyakinan terhadap wujud dan keberadaan Tuhan dengan segala makna dan intepretasinya -sebagaimana pembahasan di atas- tidak mengartikan bahwa seluruh manusia mengakui keberadaan Nya dan tidak ada satupun yang meragukannya. Kita mengetahui bahwa tak jarang terdapat sekelompok orang yang mengingkari persoalan yang paling gamblang sekalipun atau meragukan kegamblangannya, (seperti kelompok para Sophis yang ragu dalam prinsip wujud riil), dari sinilah kemudian dikatakan: kebadihian dan kegamblangan sebuah proposisi tidak ada kaitannya dengan adanya sekelompok orang yang tidak menyepakatinya atau ragu dalam kebenarannya, oleh karena itu kefitrahan pencarian Tuhan pada penafsiran pertama dan kedua tidak terpengaruh dengan adanya keraguan sebagian orang terhadapnya.

Berdasarkan penafsiran ketiga dan keempat, meskipun manusia mempunyai makrifat dan pengetahuan hudhuri terhadap Tuhan, akan tetapi kedekatan manusia kepada alam natural telah membuat mereka kehilangan perhatiannya terhadap makrifat tersebut (sebagaimana orang sakit yang melupakan penyakitnya karena mendengar kabar gembira, sementara unsur-unsur sakit tersebut masih ada dalam dirinya). Dari sinilah, ketika manusia telah berada dalam kondisi yang kritis dan segala harapan terhadap unsur-unsur alami telah terpenggal darinya, dasar kalbunya akan terfokus pada sebuah kodrat tak terbatas dan secara tak sadar dia akan memanggil dan meminta bantuannya.

Kesimpulannya, keberadaan Shopistis tidak mampu mempengaruhi klaim kefitrahan pencarian Tuhan. 

2.       Sebagaimana yang telah kami katakan, keyakinan fitri terhadap wujud Tuhan ada kalanya akan menjadi tak terlihat karena adanya faktor kedekatan dan keakraban manusia pada alam natural, yang tentu saja hal ini menyebabkan redupnya pancaran cahaya fitrah tersebut. Dalam keadaan seperti ini manusia membutuhkan pembangkit dan pengingat untuk melepaskan mereka dari liputan kabut, menghentakkan dari kelengahan dan mengembalikan mereka pada kemurnian kalbu. Tentu saja faktor-faktor pembangkit ini sangat beragam, sebagiannya berdimensi makrifat dan sebagian lainnya (seperti kondisi kritis yang dialami seseorang) berdimensikan psikologis. Salah satu faktor makrifat yang berpengaruh untuk menyadarkan fitrah yang tertutup ini adalah dengan memaparkan argumen-argumen akal yang kuat akan wujud Tuhan. Dengan demikian, kefitrahan pencarian Tuhan tidak meniscayakan kesia-siaan argumen akal atas wujud Tuhan dan tidak pula menyepakati ketidakbenaran argumen semacam ini. Wal hasil, tidak seharusnya kita berpandangan negatif terhadap seorang pemikir yang dari satu sisi meyakini bahwa keyakinan akan wujud Tuhan adalah fitrah dan pada sisi lain dia juga menyajikan argumen-argumen kuat untuk membuktikan kebenaran eksistensi Tuhan.

 

3. Pencarian Tuhan dalam al-Quran

Terdapat banyak ayat dan riwayat yang menguatkan pendapat akan adanya kefitrahan pencarian Tuhan, dan kami  mencukupkan diri dengan menyajikan beberapa darinya.

Pada sebagian ayat al-Quran dikatakan bahwa agama Islam merupakan agama yang sesuai dengan fitrah manusia.

        Surah ar-Rum ayat 30 mengatakan:

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu." (QS. Ar-Rum: 30).

Meskipun secara lahir ayat ini mengurai tentang kefitrahan agama, akan tetapi bisa pula dipergunakan dalam kaitannya dengan kefitrahan keyakinan terhadap eksistensi Tuhan, karena apabila maksud dari "agama" di sini adalah pembelajaran prinsip dan tingkatan keyakinan agama, maka keyakinan terhadap eksistensi Tuhan secara tegas merupakan bagian darinya dan apabila maksudnya adalah penyerahan diri di hadapan Allah Yang Mahasuci dan penyembahan Tuhan, maka bisa dipastikan kefitrahan penyembahan Tuhan meniscayakan pada kefitrahan pengetahuan terhadap wujud Nya.[6]

Ayat lain yang bisa dijadikan rujukan, khususnya dalam persoalan theology dan pengenalan Tuhan ini adalah ayat ke 172 dari surat al-A'raf, sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya, ayat ini terkenal dengan sebutan ayat "mitsâq"

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi", (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan Tuhan)"

Kandungan dari ayat ini sangat berat dan mendalam, karena hal ini pulalah sehingga para mufassir saling berbeda pendapat dalam menafsirkannya dan bahkan sebagian kelompok menganggapnya sebagai ayat yang mutasyabiah (kurang jelas). Walaupun demikian, secara global, dari ayat ini bisa disimpulkan bahwa Tuhan pada salah satu tahapan penciptaan-Nya, telah menghadirkan seluruh manusia yang ada di muka bumi sejak permulaan hingga hari kiamat dan meletakkan kesaksian pada diri mereka serta mengambil sumpah atas rububiyah-Nya dan tujuan dari sumpah tersebut adalah supaya kelak para musyrik dan kafir tidak mengklaim dirinya sebagai orang-orang yang tidak mengetahui berita tersebut.

Kesimpulannya, mereka yang menganggap kefitrahan Tuhan dengan makna pertemuan-pertemuan manusia dengan Tuhan di alam pra-alam tabiat akan merujuk pada ayat ini dan menjadikannya sebagai bukti pendapatnya. Sebagian penafsir (mufassir) dan periset pun menyepakati bahwa ayat ini ingin menjelaskan realitas berikut dengan bahasa simbolik bahwa seluruh manusia memiliki semacam makrifat partikular (bukan universal) dan hudhuri (bukan hushuli) terhadap Tuhan dan karena makrifat semacam ini tidak mungkin salah, maka tidak ada dalih ataupun alasan untuk meragukannya.

Demikian pula terdapat banyak ayat dalam al-Quran yang menjelaskan realitas bahwa ketika manusia berada dalam keadaan yang kritis dan kondisi yang benar-benar sulit dan dia melihat dirinya berada di ambang kematian dan harapannya terhadap segala unsur tabiat telah tak terjangkau lagi, makrifat fitri yang terpendam dalam kedalaman kalbunya serta merta akan terjaga dan dia akan memanggil Tuhan dengan keikhlasan penuh.

"Maka apabila mereka menaiki kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)" (QS. Al-Ankabut:65)[7]

Dari ayat tersebut dapat pula disimpulkan bahwa al-Quran membenarkan adanya makrifat fitri terhadap eksistensi Tuhan dalam diri manusia.[8]

 

4. Pengenalan Tuhan dalam riwayat

Persoalan fitrah mendapatkan banyak perhatian dalam berbagai riwayat, tentu saja dalam riwayat-riwayat tersebut terdapat perbedaan dalam menjelaskan apa  sebenarnya fitrah itu. Pada sebagian hadits, fitrah diperkenalkan sebagai prinsip agama Islam dan pada sebagian lainnya diperkenalkan sebagai usul dan dasar asasi kepercayaan Islam sebagaimana tauhid dan wilayah, dan pada sepenggal riwayat, fitrah ditegaskan sebagai kefitrahan tauhid dan akhirnya di antara riwayat-riwayat fitrah yang ada kita menemukan hadist yang menjelaskan fitrah sebagai makrifat dan pengenalan Tuhan. Sebagai contoh, dalam sebuah hadist dikatakan, salah satu dari sahabat bertanya kepada Imam Baqir As tentang arti "hunafa (dengan ikhlas)" yang ada dalam surah al-Hajj ayat 31:

"Dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Nya".

Dalam menjawab pertanyaan tersebut beliau bersabda:

"Hunafa adalah fitrah yang Allah menciptakan manusia atasnya dan Dia tidak melakukan perubahan dalam penciptaan Nya (kemudian beliau melanjutkan) Allah menciptakan manusia dengan adanya makrifat kepada Nya".

 

Referensi:

[1].  Fitrah pada dasarnya merupakan salah satu pembahasan dari prinsip pengenalan manusia Islami yang hingga saat ini masih hangat sebagai bahan pembicaraan dan penelitian. Untuk mengetahui masalah ini lebih lanjut rujuk kitab-kitab: Syahid Muthahhari, Fitrah; Ayatullah Misbah Yazdi, Muhammad Taqi, Ma'ârif Qur'ân, J. 1-3, hal. 26-47; Syirwani, 'Ali, Seresht Insân; Pazuheshi dar Khudasyenâsi Fitri.

[2]. Tidak diragukan lagi, pembuktian kefitrahan pengetahuan akan wujud Tuhan dalam makna ini merupakan pembahasan yang rumit dan membutuhkan dasar serta prinsip-prinsip Filsafat khusus, dimana tidak pada tempatnya apabila kami memberikan penjelasannya pada pembahasan ini.

[3].  Dalam ilmu logika untuk proposisi semacam ini selain disebut dengan istilah "proposisi fitri", disebut juga dengan istilah "proposisi qiyasaatuhaa ma'aha" yaitu prorosisi yang membutuhkan pembuktian, dimana qiyas yang cukup untuk pembuktian, ada bersamanya di dalam benak.

[4]. Dasar filosofi ilmu hudhuri (knowledge by presence) manusia kepada Tuhan adalah bahwa setiap akibat mujarrad mempunyai ilmu hudhuri terhadap sebabnya seukuran keluasan wujudnya, dan karena jiwa manusia adalah mujarrad, maka dia akan berhadapan dengan makrifat hudhuri terhadap sebab wujud dan awal penciptaan dirinya yaitu Tuhan.

[5]. Sebagai contohnya, berdasarkan penafsiran pertama dan kedua, makrifat fitri manusia terhadap wujud Tuhan merupakan makrifat hushuli, sedangkan pada penafsiran keempat menegaskan tentang ke-hudhuri-an makrifat tersebut.

[6] . Untuk penjelasan lebih lanjut, rujuk: Misbah Yazdi, Muhammad Taqi; Ma'arif Quran, J. 1-3, hal 37.

[7]. Bisa juga merujuk pada QS. Luqman: 33 dan an Nahl: 53.

[8]. Sebagaimana yang akan kami bahas dalam masalah Tauhid, ayat tersebut juga mengisyarahkan pada kefitrahan tauhid.

 

Sumber:
www.wisdom4all.com

  • Print

    Send to a friend

    Comment (0)